ForzaPersija Arsip Sejarah Persija merupakan arsip dan index berupa link artikel-artikel mengenai sejarah Persija Jakarta yang dihimpun oleh ForzaPersija dari berbagai media dan sumber yang ada.
Pertandingan Japut vs UMS dalam rangka kompetisi Persija 1968/1970 berakhir dengan score 0-0. diputuskan Japut sebagai juara karena sistem kompetisi menggunakan sistem jumlah kemenangan.
INILAH hari-harinja Sang Djuara dinobatkan. Djaput alias Djakarta Putra pada hari Minggu 21 Maret 1971, kembali diadu — kali ini menghadapi UMS alias Union Makes Strength. Hari itu merupakan hari jang penghabisan dari serentetan Kompetisi Persidja 1968/1970. Di stadion Persidja, Menteng, Djakarta, 5.000 penonton ibukota datang menjaksikannja. Bagi Djakarta Putera sendiri, hari itu menang atau kalah tak ada bedanja — ia tetap akan keluar sebagai djuara karena sistim kompetisi menggunakan sistim djumlah kemenangan. Tapi bagi UMS kekalahan berarti turun ketempat ketiga, menang atau paling tidak seri berarti tempat kedua. Maka setidaknja anak-anak Petak Senkian itu sudah bertekad bulat untuk tidak kalah. Target minimal mereka seri. Tekad itu begitu keras barangkali hingga tidak djarang sempritan wasit Ridwan Mas jang memimpin pertandingan tersebut dianggap berat sebelah. Berkali- kali penonton meneriaki sementara anak buah UMS protes, hingga Dokter gigi Endang Witarsa, pelatih mereka terpaksa turun kelapangan untuk menenangkan.
Maka ketika tiga prit pandjang ditiupkan Ridwan Mas pada pungkasan pertandingan, dipapan skor penonton melihat gambar katjamata. Orang bilang gambar itu tandanja skor 0-0. Maka kedudukan kedua kesebelasan seperti jang terdapat dalam neratja jang semula (lihat TEMPO, 20 Maret 1971). Djaput dalam 30 kali pertandingan mengumpulkan 54 bidji kemenangan, sedang UMS runner-upnja memperoleh 44 bidji kemenangan. Adapun Kesebelasan Bintang Timur dan Kesebelasan Sinar Remadja mengalami degradasi kedevisi II.
Sjahdan dalam musim kompetisi jang berikutnja, bulan April ini, suasana akan bertambah semarak. Diduga rekor recette sebesar Rp. 115 ribu sekian jang didapat dalam penutupan kompetisi 21 Maret itu akan bisa bertambah banjak. Apa resepnja? Konon karena pemain-pemain seperti Sutjipto, Judo Hadianto (dari Kes. Setia) dan Iswadi (dari Kes. Indonesia Muda) akan turun djuga kegelanggang kompetisi Persidja itu.
Artikel Tempo 27 Januari 1973 : PERSIJA, MENCARI IKLIM BARU
Tempo 27 Januari 1973. Pengurus persija periode 1972-1974 berhasil disusun, sukahar masih di pucuk pimpinan. ada beberapa pengurus baru yang mungkin dapat merubah suasana baru persija. komposisi pengurus dianggap ideal.
TERTUNDANYA Rapat Anggota Persija sejak Nopember tahun lalu, hanya menunda terpilihnya kembali Drs Sukahar sebagai Ketua Umum Persija yang baru. Tanggal 14 Januari yang lalu sebanyak 27 dari 31 klub anggota Persija telah meluangkan 8 jam dari hari minggunya untuk menyusun Pengurus periode 1972–1974. (lihat box: Susunan Pengurus Persija 1972-1974).
Sudah barang tentu tampilnya Sukahar untuk sekian kalinya di pucuk pimpinan persepakbolaan Ibukota disambut pendukungnya dengan rasa gembira, meski tidak kurang pula yang memberi reaksi urut dada. Tetapi nampaknya ada titik pertemuan di antara mereka: kewibawaan Danjen Akabri yang berpangkat Irjen Pol ini masih dirasakan dominan untuk bisa ditinggalkan begitu saja. Ini terbukti 38 dari 68 suara sidang yang direbutnya dibandingkan dengan 27 sara yang diperoleh Drs Sukendro, tokoh baru dari Ps Mahasiswa.
Shock therapy. Adakah dengan kewibawaan melulu bond sepakbola Ibukota ini dapat direvisi? Jawabnya tersurat dan tersirat dalam komposisi kepengurusan. Di samping Sukendro sebagai ketua, Hutasoit yang selama ini dikenal sebagai penggerak Persija dikukuhkan pula sebagai ketua bersama Utarjo dari Indonesia Muda. Ditambah dengan Surojo sebagai Sekretaris, juga pendatang baru dari IM, nampaknya slok therapy sewaktu-waktu bisa terjadi untuk menyehatkan Persija. Semenara roda kompetisi yang lazim dijadikan barometer persepakbolaan Jakarta, akan dikemudikan oleh Eddie Hutabarat tokoh dari klub Oliveo yang lebih menonjol kritik-kritiknya terhadap pengurus lama dari pada mutu kesebelasannya. Kepada Pemimpin Kompetisi Persija yang baru ini publik mengharapkan produk tontonan yang leratur dan dan lumayan. Dan untuk mencapai sasaran ini agaknya Pemimpin Kompetisi tidak bisa lain kecuali mengambil inisiatif merombak sistim kompetisi sekarang berlaku.
Komisi Teknik. Sementara lembaga Komisaris yang membawahi berbagai panitia akan disusun kemudian oleh pengurus harian (terdiri dari para ketua, sekretaris, bendahara dan pemimpin kompetisi), nampaknya soal pembinaan dan penyusunan team akan merupakan masalah juga. Apakah Panitia Teknik (Komisi Teknik) akan langsung dikepalai oleh salah seorang dari 4 komisaris ataukah langsung dipimpin oleh salah seorang ketua dari Pengurus Harian. Atau mungkin juga berdiri sendiri dengan tanggung jawab melalui Komisaris atau langsung kepada salah seorang ketua. Tapi rupanya berbagai kesulitan Persija dan komposisi pengurus yang baru ini sudah dipertimbangkan matang-matang beberapa hari menjelang Rapat tanggal 14 Januari. Konon Indonesia Muda dan Ps Mahasiswa telah menyebarkan “Evaluasi Persija Tahun 1970-1972″ sebagai bahan lobby. Dalam evaluasi tersebut para anggota digugah untuk turut menanggulangi beberapa kesulitan seperti: Kompetisi brengsek klub-klub tidak dapat berkembang penonton kompetisi kurang dan keuangan klub sangat lemah. Meskipun masalah yang dikemukakan itu bukan barang baru, tapi jika dilihat enthusiasme dan hasrat Sukendro dari Ps Mahasiswa yang dikemukakan pada TEMPO menjelang rapat pemilihan, mudah diduga komposisi sekarang adalah “ideal” – paling tidak bagi mereka yang mendukung pembaharuan. lihat box: Lima Pola Sukendro.
“Biru-putih”. Dalam rapat pemilihan yang lalu itu menarik perhatian juga sikap sementara anggota yang dikenal sebagai klub berpotensi besar tapi tidak kentara ambisinya untuk mendapatkan kursi kepengurusan. Terutama UMS yang kini tengah mengalami penyegaran’ pimpinannya. Emon Sajidiman, Ketua klub “Biru putih” ini menerangkan pada TEMPO, bahwa “sebaiknya fungsi Persija tidak lebih dari kordinator yang menciptakan iklim baik buat perkembangan klub-klub anggotanya”. Apa yang dimaksudkan dengan “iklim baik” itu tidak lain adalah “penyediaan fasilitas lapangan latihan, kebebasan kepada klub-klub untuk memperkembangkan diri dan lain sebagainya”. Sebagai pimpinan perusahaan cat Warna Agung yang kini menarnpung kepengurusan UMS dan kegiatannya di Persija, Emon mengingatkan bahwa “Persija bukan super klub. Sebab tanpa klub tidak akan ada Persija”.
Adakah konsep praktis dari pimpinan yang baru untuk membantu pembinaan klub-klub? Inilah yang dituntut. Dan issue klub-sentris versus bond-sentris nampaknya akan tetap mewarnai tahun kerja pengurus 1972-1974.
***
Susunan Pengurus Persija Periode 1972-1974
Ketua Umum : Sukahar Ketua : Sukendro Ketua : F.H. Hutasoit Ketua : Utarjo Sekretaris I : Surojo Sekretaris II : Rudy Tambajong Bendahara I : S.J. Siahaja Bendahara II : D. Tuhuleru Pemimpin Kompetisi I : Eddy Hutabarat Pemimpin Kompetisi II: Sukarman Dipo
Sumber : Tempo 27 Januari 1973.
Artikel Tempo 22 Desember 1973 : HADIAH JUARA BUAT WARGA KOTA ( PERSIJA JUARA 1973 )
Kesebelasan Persija berhasil mengalahkan kesebelasan Persebaya (1-0) dalam grandfinal kejuaraan nasional PSSI. Persebaya bermain kasar dan nyaris terjadi baku hantam. Wasit Djuremi tak berwibawa.
DI bawah tatapan mata gubernur Moh. Noer, kesebelasan Persebaya berbuat segala-galanya untuk merebut kembali gelar juara yang pernah direnggutnya 21 tahun yang lalu — termasuk bermain keras. Namun lebih dari 100.000 perionton Stadion Utama menyaksikan pula bahwa permainan keras yang menjurus kotor itu justru merupakan racun yang membunuh peluang juara Persebaya. Malam itu, Selasa tanggal 12 Desember, praktis merupakan peristiwa ulangan dua tahun yang lalu (6 Oktober 1971) di antara kedua kesebelasan dalam memperebutkan Kejuaraan Nasional PSSI. Dan dengan posisi tanpa kompromi yang kurang menguntungkan Persija, semula para pecandu bola dihadapkan pada teka-teki, taktik dan strategi apa yang akan dikembangkan oleh kedua kesebelasan pada saat-saat yang menentukan itu.
Daerah-tak-bertuan. Tapi rupanya untuk menjawab teka-teki itu, sepak-terjang Rusdi Bahalwan, back kiri Persebaya, memegang kuncinya. Menit-menit pertama ia berpapasan dengan Iswadi kanan-luar Persija, dan cara Rusdi membendung terobosan Kapten Persija ini, segera menjawab dengan komplit apa yang akan terjadi pada sisa-sisa pertandingan yang masih panjang. Ditambah pula dengan Wasit Djuremi yang berkwalifikasi kelas FIFA — tapi agaknya lupa membawa kartu merah — jelas pimpinannya ini memberi inspirasi bagi Persija untuk melayani tantangan lawan di kandang sendiri. Begitulah jadinya: ketika Sutan Harhara berusaha menghadang Kadir dengan cara Rusdi, arena pertandingan nyaris berubah menjadi daerah tak bertuan. Pada menit ke-15 dan selama 6 menit: petugas keamanan, wartawan-foto, ofisial dan cadangan kedua kesebelasan turut sibuk di dalam adegan yang disensu TVRI. Nampaknya siasat Persebaya unluk menteror mental anak-anak Ibukota dengan kekerasan fisik paling tidak untuk sementara berhasil. Ketika Iswadi dan Jacob Sihasale setuju untuk melanjutkan permainan, Anjasmara, Sofyan Hadi dan Sumirta nampaknya mulai ciut nyalinya. Sementara Iswadi lebih berhati-hati, meski dalam duel ia toh memperlihatkan kelihayannya untuk mengelak ataupun menggasak kaki lawan. Di dalam kemelut keras lawan keras tanpa wibawa wasit Djuremi, hanya etika pemain dan disiplin penonton agaknya yang menyelamatkan final ini dari situasi yang memburuk.
Bermuka-kartu. “Sayang Persija terpancing oleh permainan kasar Persebaya”, kata Sarman Panggabean pada TEMPO sewaktu turun minum. “Mereka sebenarnya jangan meladeni”, tambah Ronny Paslah yang turut menyaksikan di pinggir lapangan. Kedua pemain edan itu bukan tidak tahu bahwa resep mujarab yang biasa dipaka PSMS mengalahkan Persija, kini sedang ditrapkan Persebaya terhadap anak-anak Jaya. Tapi rupanya lain Medan, lain Persebaya. Yang pertama memancing kemarahan lawan, bikin groggy mentalnya dan mencuri peluang ketika lawan lengah. Sementara Persebaya lebih mirip menjaring, hantam-kromo dan merusak keseimbangan kerjasama trio Ngurah Ray – Waskito – Kadir. Dan jangan lupa pemain seperti Risdianto yang selalu bermuka-polos bukan tidak tahu ia dan rekan-rekannya berada dalam jaring Persebaya. Itulah sebabnya di babak kedua ketika kiper Tjong dan barisan belakang Persebaya bersantaisantai mempermainkan bola – dengan maksud mengulur waktu dan memaksa pertandingan berakhir seri – Risdianto mengatur barisan depan Persija memulihkan kepercayaannya. Kesempatan itu akhirnya tiba di menit ke-78, ketika Andi Lala yang menggantikan Arwiyanto dimakan Diono. Tendangan bebas untuk Persija dali daerah penalti Persebaya terjadi. Risdianto berbisik pada Lala. Barangkali penyerang-tengah Persija ini mengingatkan rekannya bahwa dalam beberapa pertandingan terdahuhl ia terlampau sering mengecewakan suporter Persija dalam adegan di muka gawang. Dan dengan sebuah cuilan, bola disuguhkan pada Lala. Pekerjaan selan jutnya adalah menggenjot biji longkong itu ke sudut kanan gawang Persebaya. Seantero Stadion bergema. Yang tua yang muda, semuanya bangkit menyambut bobolnya gawang Tjong. Hadiah Natal dan Tahun Baru bagi warga ibukota. Bola bergulir lagi. Kini giliran Hudo Hadianto bersantai-santai. Wasit Djuremi nampaknya bingung melihat Persija bisa menang. Dan iapun makin melongo ketika Persija sama pandainya mengulur-ulur waktu.
Biang Kerok. “Tiada perarutan untuk menindak taktik mengulur waktu”, kata Ketua Komisi Wasit PSSI, Besus. Meskipun Besus mengakui bahwa biangkerok yang merampas mutu final kejuaraan 1973 ini diawali pada menitmenit pertama, ketika Djuremi sudah harus memperingatkan Rusdi Bahalwan dengan kartu kuning. “Saya akui pimpinan wasit amat buruk”, katanya pada TEMPO seusai pertandingan. Dan brengseknya pimpinan wasit itu tak perlu dipungkiri, ikut pula merusak mutu permainan yang semula diharapkan paling tidak bisa berkembang seperti dalam final Persija – Persebaya (1-1) dua tahun lalu. Tapi siapa nyana, kali ini ditutup dengan pertandingan yang paling jorok dari seluruh pertandingan di babak final kejuaraan 1973. Dan siapapun yang mencintai olahraga keras ini, toh tidak akan memicingkan mata terhadap pemerkosaan kaidah-kaidah permainannya.
Sumber : Tempo 22 Desember 1973
Artikel Tempo 12 Januari 1974 : Empat Tahun Kesebelasan Jayakarta
Dalam usia 4 tahun Jayakarta mencoba meningkatkan kegiatannya dengan pertandingan international, ke Malaysia, melawan kesebelasan Wacker (Jer-Bar). Jayakarta masuk ke Divisi I Persija.
MENGINJAK usia 4 tahun, “kami coba meningkatkan kegiatan kami dalam pertandingan internasional”, kata Frans Hutasoit, Ketua PS Jayakarta yang untuk tahun 1973 sekaligus merebut gelar “Penunjang Olahraga” (dari SIWO/PWI Jaya) dan “Pembina Olahraga” (dari SIWO/PWI Pusat). Dan pertandingan internasional “kecil-kecilan” buat Jayakarta memang terjadi di Stadion Utama Senayan pekan lalu dengan kesaksian sekitar 15.000 penonton.
Rupanya berbeda dengan PS Pardedetex dulu, team sepakbola yang disonsori Yayasan Jaya Raya ini memilih jalan dari anak-tangga paling bawah. Tahun lalu, diam-diam Jayakarta melawat ke Malaysia dan melakukan serangkaian pertandingan dengan team setempat untuk mengukur diri. Puas atau tidak hasilnya, nampaknya pimpinan Jayakarta bertekad meningkatkan kegiatannya dalam pertandingan internasional di kandang sendiri tahun ini juga. Apalagi kebetulan sekali Kesebelasan Wacker — kesebelasan amatir Jerman Barat — mengadakan perlawatan ke Asia dengan sponsor Pemerintah mereka. Begitu jadinya: debut Jayakarta dalam pertandingan internasional melawan Wacker dengan hormat mempersilahkan para penggemar sepak bola untuk menilainya.
Main kayu. Kini setelah Jayakarta melampaui fase pertama dan lulus masuk ke Divisi I Persija, orang bukannya ingin menilai klub yang terbanyak memberi suplai pemain bagi Persija dari ukuran nasional melainkan juga dari segi potensi inter-nasionalnya — dan terutama mutu komersilnya. Dari sudut pandangan ini orang tak usah ragu menyimpulkan bahwa Jayakarta masih harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa mencapai taraf kesebelasan Pardedetex (yang pada waktu itu mayoritas terdiri dari pemain nasional). Kekalahan 1-2 lawan Wacker ikut pula menelanjangi ke-amatir-an para pemain Jayakarta: polos, sopan dan ragu-ragu untuk bermain keras dan licik. Mungkin saja itu semua adalah hasil pembinaan di asrama yang serba disiplin dan jauh dari sifat-sifat keberandalan sebagaimana lazimnya pada anak-bola. Ini pun bukan berarti mercka adalah penakut.
Pernah terjadi dalam kompetisi Persija tahun lalu mereka tak sungkan melibatkan diri dalam perkelahian total (lawan UMS). Tapi yang dimaksud di sini tentunya bukanlah sebuah nasehat supaya Jayakarta memilih jalan singkat: menangkan pertandingan dengan “main kayu”. Agaknya peranan pemain Iswadi pada Indonesia Muda, Salmon Nasution pada Maluku, Risdianto pada UMS, Oyong Liza pada Jakarta Putera dan sebagainya, perlu juga dipelajari Jayakarta. Dewasa ini nama Anjasmara Sutan Harihara, Sofyan Hadi, Andi Lala dan Sumirta tidak kurang komersilnya dari pemain nasional mana pun. Tapi memasuki “tahun macan 1974″ ini jelas mereka bukan tidak mungkin diperlakukan lawan sebagai “macan kertas” belaka.
Jayakarta di medan pertandingan mutlak membutuhkan seorang kapten yang tenang dan matang dalam setiap situasi krisis, tapi tanpa mengurangi fanatisme dan tak segan-segan bertindak keras, licik malahan kotor dalam batasbatas yang dibolehkan. Dalam sejarah sepakbola mentalitas salon — teknik tinggi dan kerjasama mulus, misalnya bukan tidak sering “sekali digebrah main kasar, terus bubar”. Jayakarta benar-benar minus seorang (saja) tokoh pemain yang kwa bakat sepakbolanya inhaerent pula dengan 1 kelicikannya.
Artikel Tempo 23 November 1974 : UJUNG PANDANG GONDOL PIALA SURATIN 74
TURNAMEN Empat Besar memperebutkan Piala Suharto tampaknya lebih menarik dari pertandingan internasional manapun.
Nafsu keempat kesebelasan untuk merebut piala juga selalu merangsang pejabat daerah yang bersangkutan untuk lebih giat memompa semangat anak-anak mereka. “Anak-anak Jakarta harus lebih fanatik”, kata Ali Sadikin beberapa hari menjelang turnamen. Sementara ketiga kesebelasan lain melalui masing-masing tokoh mereka juga sesumbar menambah ramai perhitungan di atas kertas sebelum bola digulirkan. “Kami datang dengan pemain muda untuk mencari pengalaman”, ujar Daeng Patompo rendah hati.
Paling menarik tentulah tekad ketiga kesebelasan daerah yang sama berprinsip: biar tak bawa piala asal jangan kalah dari Persija. Regu ibukota punya persiapan paling matang dibanding ketiga saingannya. Iswadi spesial didatangkan dari Australia. Namun kehadirannya memperkuat Persija disangsikan status keamatirannya oleh para team manager dalam technical meeting. “Cuma Ketua Umum yang tahu bagaimana statusnya”, begitu jawaban yang diterima Zulkarnaen, coach PSMS dalam pertemuan teknis. Bunyi peluit pertama mempertemukan PSMS lawan Persija. Hasilnya: Rp 14.095.750. Dua tahun yang lalu dalam acara yang sama, Persija unggul 1–0 dari lawannya ini. Musuh bebuyutan. Kebesaran Terompah “Kami akan main keras, sebab ini ciri khas Medan”, ujar coach Zulkarnaen. “Kami akan layani mau main cara apa saja”, jawab Aliandoe. Namun disaksikan 80.000 penonton, Persija yang konon nyali bermain kerasnya disangsikan orang (paling tidak oleh lawan mereka), sore itu menghidangkan siasat semacam “Ali kontra Foreman”.
Satu siasat yang di luar perhitungan lawannya. Dimotori Iswadi rmereka tampil dengan permainan tabah. Suaeb Rizal dan Salmon Nasution dipercaya untuk melayani kekerasan lawan. Trio lswadi Andi Lala – Sumirta melibatkan Yuswardi dan Anwar Ujang dalam mara bahaya berkepanjangan, begitu Sudarso meniup peluitnya. Lini penghubung yang diperkuat oleh Junaedi Abdillah bekas pemain Persebaya juga tambah efektif membantu penyerangan. Namun sekalipun di bawah form terbaiknya Imrisan depan Persija tanpa Risdianto cukup membuat repot Pariman. Veteran-veteran PSMS Sarman, Tumsila dan Wibisono juga tak kalah gertak. Mereka menekan Ronny Pasla yang sore itu patut dicatat ketrampilannya. Cuma pemain nasional Nobon tidak tampak permainannya, kecuali hasrat besarnya untuk menghadang lawan dengan cara kasar. Jakarta akhirnya menang 2-0.
Di hari kedua dan untuk seterusnya, minat penggemar sepakbola ternyata digiring ke arah lain. Bukan Jakarta dan Medan lagi yang disorot, sebuah team lain tampak menonjol: PSM Ujung Pandang, si Kuda Hitam. “Modal kami hanya semangat tinggi dengan tujuh pemain dari team Suratin”, ujar Ilyas Haddade coach PSM Ujung Pandang, “bisa menang sekali saja kami sudah bangga”. Namun bukan sekali. Persebaya dan Persija ditundukkan masing-masing 2-1 .
Kemenangan atas Persebaya sekaligus menurunkan gambaran keampuhan regu Jawa Timur yang mulanya ditonjolkan akan merebut piala kali ini. Inilah mula surprise turnamen. Dipimpin oleh kapten Ronny Pattinasarani yang tenang dan taktis PSM betul-betul boleh membanggakan hasil peremajaan mereka. Barisan belakang yang dijaga kwartet Nur Amir, Mallawing dan dua old track Hafid dan Akhmad Jauhari. Ini tembok beton bagi penyerang Persebaya dan Persija. Sebaliknya penyerang kawakan seperti Jacob, Waskito dan Kadir bagaikan kebesaran terompah kandas di muka kiper Saleh Bahang. “Kecil-kecil kelihatannya, tapi eh bola saya hilang terus”, ujar Jacob berkelakar mengomentari pemin-pemain muda PSM keesokan harinya.
Tampaknya kepindahan Junaedi cukup berarti buat kesebelasan yang punya prinsip “terlalu riskan menggabungkan pemain muda dengan senioren”, seperti kata Joko Sutopo sebelumnya. Makan Kaki Lawan Ketika Persija pun dikalahkan mereka, lengkaplah sudah harapan orang akan melihat wajah satu kebelasan baru menggantikan mereka yang selama ini merajai setiap turnamen PSSI. Hanya dengan modal fanatik mereka tampak siap mempertaruhkan segalanya demi pertarungan sore itu. Dimotori kembali oleh Ronny, PSM benar-benar telah menyulitkan anak-anak Aliandoe. Ketiga pemain depan Sumirta – Andi Lala. Iswadi tak banyak bisa bergerak. Kembali terasa ketakhadiran Risdianto, sekalipun Iswadi tidak jarang kembali di posnya yang asli. “Cuma Ris yang bisa turun naik, jadi tinggal Andi Lala yang harus kita jaga”, begitu petunjuk Ronny pada rekan-rekannya.
Kepada Iswadi yang dianggap bisa membuka daerah buat Lala, disodorkan Akhmad Jauhari yang telah melakukan tugasnya dengan baik. “Semua bola dari Junaedi, jadi dia juga harus diperhatikan”. Permainan meningkat keras ketika jarum jam menunjuk saat-saat pertandingan makin larut. Bahkan Ronny yang dikenal paling tidak suka main keras tampak ikut ambil-bagian dalam lakon “makan kaki lawan”. Bahkan ia mendapat kartu kuning. “Memang saya terpaksa untuk kasih semangat pada kawan-kawan”, komentarnya sesudah pertandingan. Taktik yang keliru ini memang membuahkan hasil bagi Persija ketika PSM mendapat hukuman penalti. Gol balasan untuk Persija 2-1. Sesudah dibungai dengan kericuhan dan Abdi Tunggal dikeluarkan wasit, barisan penyerang berseragam merah-merah ini hampir sepenuhnya terpancing untuk bermain keras. Begitulah sampai bubaran.
Malam harinya suasana Wisma Hasta diliputi kegembiraan. “Mereka rasakan taktik yang pernah mereka lakukan pada kami dalam kejuaraan PSSI yang lalu”, komentar Kadir atas siasat membuang-buang bola di saat sudah menang yang dilakukan PSM pada lawannya. Jamiat dan Witarsa tampak berseloroh dengan mereka. Yang jelas spekulasi jadi kacau. Harapan PSM makin besar, tetapi Persijapun masih punya kans asal Medan mampu memukul PSM keesokan harinya. Sepucuk surat “selamat bertanding” dari Ronny Pasla eks PSMS kepada Sarman dkk disobek-sobek. Dan nyatanya PSMS memang cuma mampu menahan PSM dengan draw. Sekalipun disangsikan orang keseriusan mereka. PSM toh sudah menjadi juara.
Sumber : Tempo 23 November 1974
Artikel Tempo 11 Januari 1975 : BIARLAH PERSIJA SAJA ( PERSIJA VS OFFENBACH )
BERGANTI tahun bersama Kickers Offenbach, PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah III, Wilayah I dan Persija untuk melayani sang tamu.
Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.
Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.
Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.
Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.
Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).
Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.
Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.
Sumber: Tempo 11 Januari 1975
=======================================
Sumber semua artikel-artikel di atas: Gerry JakOnline
Banyak yang mengira orange adalah warna kebanggaan Persija. Tetapi jauh sebelum warna orange menjadi bagian Persija, warna merah-lah yang mengiringi perjalanan hidup Persija. Ya, generasi pendukung Persija sekarang mungkin hanya mengetahui satu warna yaitu orange, bila kita lihat jika Persija bertanding, anak muda Jakarta berbondong-bondong pergi ke Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan memakai seragam berwarna orange.
Memang, hal ini terjadi karena Persija pada tahun 1997 mengubah identitasnya dari merah-sebagai warna tradisional menjadi orange. Tidak ada yang tahu pasti kenapa Persija merubah warna kebesarannya yang telah berpuluh-puluh tahun dipakai oleh para pendahulu mereka. Banyak yang bilang bahwa orange adalah warna kesukaan Bang Yos, tetapi ada pula yang bilang orange adalah warna pemda.
Tetapi, ya itu tadi, jauh sebelum orange, Persija bangga dengan warna merahnya. Warna yang memang sudah melekat sejak Persija masih bernama Voetballbond Indonesische Jacatra ( VIJ ) adalah pemberian dari para pendiri perkumpulan ini. Merah disebut-sebut sebagai representasi Indonesia, karena sejak dulu Batavia memang dipenuhi oleh bermacam-macam suku bangsa.
VIJ sendiri adalah perkumpulan sepakbola yang memang didirikan oleh para pemuda pribumi, untuk menyaingi perkumpulan sepakbola Batavia yang didirikan oleh Belanda, Voetballbond Batavia Omstraken ( VBO ). VIJ adalah cerminan perkumpulan Indonesia, pemain-pemainya bukan hanya terdiri dari orang-orang Betawi tetapi juga juga suku lain. Pemuda Betawi semacam A. Gani, Saridi bermain satu tim dengan Roeljaman, Soetjipto, Soetarno yang orang Jawa pun begitu pula dengan orang Sunda seperti Iskandar yang juga menjadi andalan pembobol gawang lawan.
VIJ bermarkas di Lapangan Petojo. Lapangan ini adalah sumbangan dari pemuda-pemuda Betawi untuk VIJ, tokoh Betawi M. Husni Thamrin punya andil besar dalam perkembangan VIJ terutama atas adanya Lapangan Petojo ini. Dari lapangan ini pula VIJ atau Persija berlatih sehingga mereka mampu menjuarai kompetisi tahun 1931, 1933, 1934 dan 1938.
Setelah era kemerdekaan , VIJ merubah namanya menjadi Persija pada tahun 1950. Persija kembali menunjukan taringnya sebagai perkumpulan Jakarta di dunia sepakbola Indonesia kala itu. Persija mampu membuat VBO meleburkan diri ke dalam Persija, otomatis klub-klub yang bernaung di bawah VBO bergabung dan berkompetisi di Persija. Sebutan Persija adalah Indonesia kala itu sangat kuat, dengan banyak pemain Persija yang memperkuat Indonesia. Nama-nama seperti Van Der Vin, Kris Ong, Tan Liong Houw ( Tanoto ), Kiat Kwee Sek, R. Pangemanan, Hong Sing, atau Djamiat Dalhar adalah pemain-pemain andalan Indonesia. Begitu pula di era 60an, andalan Indonesia seperti Sucipto Suntoro, Sinyo Aliandoe, Fam Tek Fong, Yudi Hadiyanto, Dominggus, Supardi, Reni Salaki, Surya Lesmana dan Didik Kasmara adalah pemain Persija bahkan pelatih legendaris Indonesia drg. Endang Witarsa juga berasal dari Persija.
Era 70an adalah eranya Persija, dimana sebelas pemain timnas adalah pemain Persija. Suaib Rizal dan Anjas Asmara pernah berbincang kepada saya bahwa saat itu Persija adala Timnas Indonesia dan Timnas Indonesia adalah Persija. Ya, warna Merah dan Putih adalah warna Persija dan Indonesia. Ini yang jarang diketahui oleh generasi Persija “hari ini”.
Warna adalah identitas, dan Persija dari awal sudah memilih merah sebagai identitasnya, warna yang penuh arti yang diberikan oleh para pendahulu. Kita tahu bahwa salah satu sifat manusia adalah membuat sejarahnya sendiri, maka jangan heran identitas kita bahkan bisa dibeli dengan uang hanya sekedar untuk pencitraan diri. Keegoisan para pemimpin atau pemilik modal memang telah mengubur sejarah lama, tetapi bila identitas Persija merah tuahnya sangat kuat, akan ada orang-orang yang berusaha untuk membalikan identitas awal Persija.
Magis, ya saya sempat mendengar bahwa Persija kualat tidak pernah juara karena mengganti identitas dari merah menjadi orange dan juga kesalahan fatal pemimpin kota ini dengan merubuhkan Stadion Menteng yang bertahun-tahun menjadi “rumah” Persija. Jika memang terbukti benar, ada baiknya Persija era sekarang berkaca pada masa lalu nya, saat ini yang tertinggal dari Persija hanya lambang didada para pemain Persija. Hanya itu yang tersisa.
Merah bukan sekedar warna buat Persija, tapi merah memiliki daya magis dan penuh arti bagi perjalanan panjang Persija. Sudah saatnya memberi kebenaran kepada generasi sekarang tentang pentingnya sejarah. Sejarah yang membawa kita pada hari ini dan sejarah pula yang membuat kita bisa melangkah ke masa depan, dan merah akan selalu menjadi warna dan bagian Persija walau “hari ini” terkikis oleh egoisnya identitas pemilik uang dan pemimpin kota ini demi sebuah pencitraan diri.
Sumber
- Arsip Sejarah Persija dari Artikel "Tempo"
- Dan, Batavia Pun Berpesta di Tahun 1938
- Merah, Warna Asli Persija
- [Video] Final Divisi Utama Persija 2-3 Persebaya 27 Maret 1988
Arsip Sejarah Persija dari Artikel "Tempo" Artikel Tempo 03 April 1971 : Japut & UMS Skor Kaca Mata
Pertandingan Japut vs UMS dalam rangka kompetisi Persija 1968/1970 berakhir dengan score 0-0. diputuskan Japut sebagai juara karena sistem kompetisi menggunakan sistem jumlah kemenangan.
INILAH hari-harinja Sang Djuara dinobatkan. Djaput alias Djakarta Putra pada hari Minggu 21 Maret 1971, kembali diadu — kali ini menghadapi UMS alias Union Makes Strength. Hari itu merupakan hari jang penghabisan dari serentetan Kompetisi Persidja 1968/1970. Di stadion Persidja, Menteng, Djakarta, 5.000 penonton ibukota datang menjaksikannja. Bagi Djakarta Putera sendiri, hari itu menang atau kalah tak ada bedanja — ia tetap akan keluar sebagai djuara karena sistim kompetisi menggunakan sistim djumlah kemenangan. Tapi bagi UMS kekalahan berarti turun ketempat ketiga, menang atau paling tidak seri berarti tempat kedua. Maka setidaknja anak-anak Petak Senkian itu sudah bertekad bulat untuk tidak kalah. Target minimal mereka seri. Tekad itu begitu keras barangkali hingga tidak djarang sempritan wasit Ridwan Mas jang memimpin pertandingan tersebut dianggap berat sebelah. Berkali- kali penonton meneriaki sementara anak buah UMS protes, hingga Dokter gigi Endang Witarsa, pelatih mereka terpaksa turun kelapangan untuk menenangkan.
Maka ketika tiga prit pandjang ditiupkan Ridwan Mas pada pungkasan pertandingan, dipapan skor penonton melihat gambar katjamata. Orang bilang gambar itu tandanja skor 0-0. Maka kedudukan kedua kesebelasan seperti jang terdapat dalam neratja jang semula (lihat TEMPO, 20 Maret 1971). Djaput dalam 30 kali pertandingan mengumpulkan 54 bidji kemenangan, sedang UMS runner-upnja memperoleh 44 bidji kemenangan. Adapun Kesebelasan Bintang Timur dan Kesebelasan Sinar Remadja mengalami degradasi kedevisi II.
Sjahdan dalam musim kompetisi jang berikutnja, bulan April ini, suasana akan bertambah semarak. Diduga rekor recette sebesar Rp. 115 ribu sekian jang didapat dalam penutupan kompetisi 21 Maret itu akan bisa bertambah banjak. Apa resepnja? Konon karena pemain-pemain seperti Sutjipto, Judo Hadianto (dari Kes. Setia) dan Iswadi (dari Kes. Indonesia Muda) akan turun djuga kegelanggang kompetisi Persidja itu.
Artikel Tempo 27 Januari 1973 : PERSIJA, MENCARI IKLIM BARU
Tempo 27 Januari 1973. Pengurus persija periode 1972-1974 berhasil disusun, sukahar masih di pucuk pimpinan. ada beberapa pengurus baru yang mungkin dapat merubah suasana baru persija. komposisi pengurus dianggap ideal.
TERTUNDANYA Rapat Anggota Persija sejak Nopember tahun lalu, hanya menunda terpilihnya kembali Drs Sukahar sebagai Ketua Umum Persija yang baru. Tanggal 14 Januari yang lalu sebanyak 27 dari 31 klub anggota Persija telah meluangkan 8 jam dari hari minggunya untuk menyusun Pengurus periode 1972–1974. (lihat box: Susunan Pengurus Persija 1972-1974).
Sudah barang tentu tampilnya Sukahar untuk sekian kalinya di pucuk pimpinan persepakbolaan Ibukota disambut pendukungnya dengan rasa gembira, meski tidak kurang pula yang memberi reaksi urut dada. Tetapi nampaknya ada titik pertemuan di antara mereka: kewibawaan Danjen Akabri yang berpangkat Irjen Pol ini masih dirasakan dominan untuk bisa ditinggalkan begitu saja. Ini terbukti 38 dari 68 suara sidang yang direbutnya dibandingkan dengan 27 sara yang diperoleh Drs Sukendro, tokoh baru dari Ps Mahasiswa.
Shock therapy. Adakah dengan kewibawaan melulu bond sepakbola Ibukota ini dapat direvisi? Jawabnya tersurat dan tersirat dalam komposisi kepengurusan. Di samping Sukendro sebagai ketua, Hutasoit yang selama ini dikenal sebagai penggerak Persija dikukuhkan pula sebagai ketua bersama Utarjo dari Indonesia Muda. Ditambah dengan Surojo sebagai Sekretaris, juga pendatang baru dari IM, nampaknya slok therapy sewaktu-waktu bisa terjadi untuk menyehatkan Persija. Semenara roda kompetisi yang lazim dijadikan barometer persepakbolaan Jakarta, akan dikemudikan oleh Eddie Hutabarat tokoh dari klub Oliveo yang lebih menonjol kritik-kritiknya terhadap pengurus lama dari pada mutu kesebelasannya. Kepada Pemimpin Kompetisi Persija yang baru ini publik mengharapkan produk tontonan yang leratur dan dan lumayan. Dan untuk mencapai sasaran ini agaknya Pemimpin Kompetisi tidak bisa lain kecuali mengambil inisiatif merombak sistim kompetisi sekarang berlaku.
Komisi Teknik. Sementara lembaga Komisaris yang membawahi berbagai panitia akan disusun kemudian oleh pengurus harian (terdiri dari para ketua, sekretaris, bendahara dan pemimpin kompetisi), nampaknya soal pembinaan dan penyusunan team akan merupakan masalah juga. Apakah Panitia Teknik (Komisi Teknik) akan langsung dikepalai oleh salah seorang dari 4 komisaris ataukah langsung dipimpin oleh salah seorang ketua dari Pengurus Harian. Atau mungkin juga berdiri sendiri dengan tanggung jawab melalui Komisaris atau langsung kepada salah seorang ketua. Tapi rupanya berbagai kesulitan Persija dan komposisi pengurus yang baru ini sudah dipertimbangkan matang-matang beberapa hari menjelang Rapat tanggal 14 Januari. Konon Indonesia Muda dan Ps Mahasiswa telah menyebarkan “Evaluasi Persija Tahun 1970-1972″ sebagai bahan lobby. Dalam evaluasi tersebut para anggota digugah untuk turut menanggulangi beberapa kesulitan seperti: Kompetisi brengsek klub-klub tidak dapat berkembang penonton kompetisi kurang dan keuangan klub sangat lemah. Meskipun masalah yang dikemukakan itu bukan barang baru, tapi jika dilihat enthusiasme dan hasrat Sukendro dari Ps Mahasiswa yang dikemukakan pada TEMPO menjelang rapat pemilihan, mudah diduga komposisi sekarang adalah “ideal” – paling tidak bagi mereka yang mendukung pembaharuan. lihat box: Lima Pola Sukendro.
“Biru-putih”. Dalam rapat pemilihan yang lalu itu menarik perhatian juga sikap sementara anggota yang dikenal sebagai klub berpotensi besar tapi tidak kentara ambisinya untuk mendapatkan kursi kepengurusan. Terutama UMS yang kini tengah mengalami penyegaran’ pimpinannya. Emon Sajidiman, Ketua klub “Biru putih” ini menerangkan pada TEMPO, bahwa “sebaiknya fungsi Persija tidak lebih dari kordinator yang menciptakan iklim baik buat perkembangan klub-klub anggotanya”. Apa yang dimaksudkan dengan “iklim baik” itu tidak lain adalah “penyediaan fasilitas lapangan latihan, kebebasan kepada klub-klub untuk memperkembangkan diri dan lain sebagainya”. Sebagai pimpinan perusahaan cat Warna Agung yang kini menarnpung kepengurusan UMS dan kegiatannya di Persija, Emon mengingatkan bahwa “Persija bukan super klub. Sebab tanpa klub tidak akan ada Persija”.
Adakah konsep praktis dari pimpinan yang baru untuk membantu pembinaan klub-klub? Inilah yang dituntut. Dan issue klub-sentris versus bond-sentris nampaknya akan tetap mewarnai tahun kerja pengurus 1972-1974.
***
Susunan Pengurus Persija Periode 1972-1974
Ketua Umum : Sukahar Ketua : Sukendro Ketua : F.H. Hutasoit Ketua : Utarjo Sekretaris I : Surojo Sekretaris II : Rudy Tambajong Bendahara I : S.J. Siahaja Bendahara II : D. Tuhuleru Pemimpin Kompetisi I : Eddy Hutabarat Pemimpin Kompetisi II: Sukarman Dipo
Sumber : Tempo 27 Januari 1973.
Artikel Tempo 22 Desember 1973 : HADIAH JUARA BUAT WARGA KOTA ( PERSIJA JUARA 1973 )
Kesebelasan Persija berhasil mengalahkan kesebelasan Persebaya (1-0) dalam grandfinal kejuaraan nasional PSSI. Persebaya bermain kasar dan nyaris terjadi baku hantam. Wasit Djuremi tak berwibawa.
DI bawah tatapan mata gubernur Moh. Noer, kesebelasan Persebaya berbuat segala-galanya untuk merebut kembali gelar juara yang pernah direnggutnya 21 tahun yang lalu — termasuk bermain keras. Namun lebih dari 100.000 perionton Stadion Utama menyaksikan pula bahwa permainan keras yang menjurus kotor itu justru merupakan racun yang membunuh peluang juara Persebaya. Malam itu, Selasa tanggal 12 Desember, praktis merupakan peristiwa ulangan dua tahun yang lalu (6 Oktober 1971) di antara kedua kesebelasan dalam memperebutkan Kejuaraan Nasional PSSI. Dan dengan posisi tanpa kompromi yang kurang menguntungkan Persija, semula para pecandu bola dihadapkan pada teka-teki, taktik dan strategi apa yang akan dikembangkan oleh kedua kesebelasan pada saat-saat yang menentukan itu.
Daerah-tak-bertuan. Tapi rupanya untuk menjawab teka-teki itu, sepak-terjang Rusdi Bahalwan, back kiri Persebaya, memegang kuncinya. Menit-menit pertama ia berpapasan dengan Iswadi kanan-luar Persija, dan cara Rusdi membendung terobosan Kapten Persija ini, segera menjawab dengan komplit apa yang akan terjadi pada sisa-sisa pertandingan yang masih panjang. Ditambah pula dengan Wasit Djuremi yang berkwalifikasi kelas FIFA — tapi agaknya lupa membawa kartu merah — jelas pimpinannya ini memberi inspirasi bagi Persija untuk melayani tantangan lawan di kandang sendiri. Begitulah jadinya: ketika Sutan Harhara berusaha menghadang Kadir dengan cara Rusdi, arena pertandingan nyaris berubah menjadi daerah tak bertuan. Pada menit ke-15 dan selama 6 menit: petugas keamanan, wartawan-foto, ofisial dan cadangan kedua kesebelasan turut sibuk di dalam adegan yang disensu TVRI. Nampaknya siasat Persebaya unluk menteror mental anak-anak Ibukota dengan kekerasan fisik paling tidak untuk sementara berhasil. Ketika Iswadi dan Jacob Sihasale setuju untuk melanjutkan permainan, Anjasmara, Sofyan Hadi dan Sumirta nampaknya mulai ciut nyalinya. Sementara Iswadi lebih berhati-hati, meski dalam duel ia toh memperlihatkan kelihayannya untuk mengelak ataupun menggasak kaki lawan. Di dalam kemelut keras lawan keras tanpa wibawa wasit Djuremi, hanya etika pemain dan disiplin penonton agaknya yang menyelamatkan final ini dari situasi yang memburuk.
Bermuka-kartu. “Sayang Persija terpancing oleh permainan kasar Persebaya”, kata Sarman Panggabean pada TEMPO sewaktu turun minum. “Mereka sebenarnya jangan meladeni”, tambah Ronny Paslah yang turut menyaksikan di pinggir lapangan. Kedua pemain edan itu bukan tidak tahu bahwa resep mujarab yang biasa dipaka PSMS mengalahkan Persija, kini sedang ditrapkan Persebaya terhadap anak-anak Jaya. Tapi rupanya lain Medan, lain Persebaya. Yang pertama memancing kemarahan lawan, bikin groggy mentalnya dan mencuri peluang ketika lawan lengah. Sementara Persebaya lebih mirip menjaring, hantam-kromo dan merusak keseimbangan kerjasama trio Ngurah Ray – Waskito – Kadir. Dan jangan lupa pemain seperti Risdianto yang selalu bermuka-polos bukan tidak tahu ia dan rekan-rekannya berada dalam jaring Persebaya. Itulah sebabnya di babak kedua ketika kiper Tjong dan barisan belakang Persebaya bersantaisantai mempermainkan bola – dengan maksud mengulur waktu dan memaksa pertandingan berakhir seri – Risdianto mengatur barisan depan Persija memulihkan kepercayaannya. Kesempatan itu akhirnya tiba di menit ke-78, ketika Andi Lala yang menggantikan Arwiyanto dimakan Diono. Tendangan bebas untuk Persija dali daerah penalti Persebaya terjadi. Risdianto berbisik pada Lala. Barangkali penyerang-tengah Persija ini mengingatkan rekannya bahwa dalam beberapa pertandingan terdahuhl ia terlampau sering mengecewakan suporter Persija dalam adegan di muka gawang. Dan dengan sebuah cuilan, bola disuguhkan pada Lala. Pekerjaan selan jutnya adalah menggenjot biji longkong itu ke sudut kanan gawang Persebaya. Seantero Stadion bergema. Yang tua yang muda, semuanya bangkit menyambut bobolnya gawang Tjong. Hadiah Natal dan Tahun Baru bagi warga ibukota. Bola bergulir lagi. Kini giliran Hudo Hadianto bersantai-santai. Wasit Djuremi nampaknya bingung melihat Persija bisa menang. Dan iapun makin melongo ketika Persija sama pandainya mengulur-ulur waktu.
Biang Kerok. “Tiada perarutan untuk menindak taktik mengulur waktu”, kata Ketua Komisi Wasit PSSI, Besus. Meskipun Besus mengakui bahwa biangkerok yang merampas mutu final kejuaraan 1973 ini diawali pada menitmenit pertama, ketika Djuremi sudah harus memperingatkan Rusdi Bahalwan dengan kartu kuning. “Saya akui pimpinan wasit amat buruk”, katanya pada TEMPO seusai pertandingan. Dan brengseknya pimpinan wasit itu tak perlu dipungkiri, ikut pula merusak mutu permainan yang semula diharapkan paling tidak bisa berkembang seperti dalam final Persija – Persebaya (1-1) dua tahun lalu. Tapi siapa nyana, kali ini ditutup dengan pertandingan yang paling jorok dari seluruh pertandingan di babak final kejuaraan 1973. Dan siapapun yang mencintai olahraga keras ini, toh tidak akan memicingkan mata terhadap pemerkosaan kaidah-kaidah permainannya.
Sumber : Tempo 22 Desember 1973
Artikel Tempo 12 Januari 1974 : Empat Tahun Kesebelasan Jayakarta
Dalam usia 4 tahun Jayakarta mencoba meningkatkan kegiatannya dengan pertandingan international, ke Malaysia, melawan kesebelasan Wacker (Jer-Bar). Jayakarta masuk ke Divisi I Persija.
MENGINJAK usia 4 tahun, “kami coba meningkatkan kegiatan kami dalam pertandingan internasional”, kata Frans Hutasoit, Ketua PS Jayakarta yang untuk tahun 1973 sekaligus merebut gelar “Penunjang Olahraga” (dari SIWO/PWI Jaya) dan “Pembina Olahraga” (dari SIWO/PWI Pusat). Dan pertandingan internasional “kecil-kecilan” buat Jayakarta memang terjadi di Stadion Utama Senayan pekan lalu dengan kesaksian sekitar 15.000 penonton.
Rupanya berbeda dengan PS Pardedetex dulu, team sepakbola yang disonsori Yayasan Jaya Raya ini memilih jalan dari anak-tangga paling bawah. Tahun lalu, diam-diam Jayakarta melawat ke Malaysia dan melakukan serangkaian pertandingan dengan team setempat untuk mengukur diri. Puas atau tidak hasilnya, nampaknya pimpinan Jayakarta bertekad meningkatkan kegiatannya dalam pertandingan internasional di kandang sendiri tahun ini juga. Apalagi kebetulan sekali Kesebelasan Wacker — kesebelasan amatir Jerman Barat — mengadakan perlawatan ke Asia dengan sponsor Pemerintah mereka. Begitu jadinya: debut Jayakarta dalam pertandingan internasional melawan Wacker dengan hormat mempersilahkan para penggemar sepak bola untuk menilainya.
Main kayu. Kini setelah Jayakarta melampaui fase pertama dan lulus masuk ke Divisi I Persija, orang bukannya ingin menilai klub yang terbanyak memberi suplai pemain bagi Persija dari ukuran nasional melainkan juga dari segi potensi inter-nasionalnya — dan terutama mutu komersilnya. Dari sudut pandangan ini orang tak usah ragu menyimpulkan bahwa Jayakarta masih harus menempuh perjalanan jauh untuk bisa mencapai taraf kesebelasan Pardedetex (yang pada waktu itu mayoritas terdiri dari pemain nasional). Kekalahan 1-2 lawan Wacker ikut pula menelanjangi ke-amatir-an para pemain Jayakarta: polos, sopan dan ragu-ragu untuk bermain keras dan licik. Mungkin saja itu semua adalah hasil pembinaan di asrama yang serba disiplin dan jauh dari sifat-sifat keberandalan sebagaimana lazimnya pada anak-bola. Ini pun bukan berarti mercka adalah penakut.
Pernah terjadi dalam kompetisi Persija tahun lalu mereka tak sungkan melibatkan diri dalam perkelahian total (lawan UMS). Tapi yang dimaksud di sini tentunya bukanlah sebuah nasehat supaya Jayakarta memilih jalan singkat: menangkan pertandingan dengan “main kayu”. Agaknya peranan pemain Iswadi pada Indonesia Muda, Salmon Nasution pada Maluku, Risdianto pada UMS, Oyong Liza pada Jakarta Putera dan sebagainya, perlu juga dipelajari Jayakarta. Dewasa ini nama Anjasmara Sutan Harihara, Sofyan Hadi, Andi Lala dan Sumirta tidak kurang komersilnya dari pemain nasional mana pun. Tapi memasuki “tahun macan 1974″ ini jelas mereka bukan tidak mungkin diperlakukan lawan sebagai “macan kertas” belaka.
Jayakarta di medan pertandingan mutlak membutuhkan seorang kapten yang tenang dan matang dalam setiap situasi krisis, tapi tanpa mengurangi fanatisme dan tak segan-segan bertindak keras, licik malahan kotor dalam batasbatas yang dibolehkan. Dalam sejarah sepakbola mentalitas salon — teknik tinggi dan kerjasama mulus, misalnya bukan tidak sering “sekali digebrah main kasar, terus bubar”. Jayakarta benar-benar minus seorang (saja) tokoh pemain yang kwa bakat sepakbolanya inhaerent pula dengan 1 kelicikannya.
Artikel Tempo 23 November 1974 : UJUNG PANDANG GONDOL PIALA SURATIN 74
TURNAMEN Empat Besar memperebutkan Piala Suharto tampaknya lebih menarik dari pertandingan internasional manapun.
Nafsu keempat kesebelasan untuk merebut piala juga selalu merangsang pejabat daerah yang bersangkutan untuk lebih giat memompa semangat anak-anak mereka. “Anak-anak Jakarta harus lebih fanatik”, kata Ali Sadikin beberapa hari menjelang turnamen. Sementara ketiga kesebelasan lain melalui masing-masing tokoh mereka juga sesumbar menambah ramai perhitungan di atas kertas sebelum bola digulirkan. “Kami datang dengan pemain muda untuk mencari pengalaman”, ujar Daeng Patompo rendah hati.
Paling menarik tentulah tekad ketiga kesebelasan daerah yang sama berprinsip: biar tak bawa piala asal jangan kalah dari Persija. Regu ibukota punya persiapan paling matang dibanding ketiga saingannya. Iswadi spesial didatangkan dari Australia. Namun kehadirannya memperkuat Persija disangsikan status keamatirannya oleh para team manager dalam technical meeting. “Cuma Ketua Umum yang tahu bagaimana statusnya”, begitu jawaban yang diterima Zulkarnaen, coach PSMS dalam pertemuan teknis. Bunyi peluit pertama mempertemukan PSMS lawan Persija. Hasilnya: Rp 14.095.750. Dua tahun yang lalu dalam acara yang sama, Persija unggul 1–0 dari lawannya ini. Musuh bebuyutan. Kebesaran Terompah “Kami akan main keras, sebab ini ciri khas Medan”, ujar coach Zulkarnaen. “Kami akan layani mau main cara apa saja”, jawab Aliandoe. Namun disaksikan 80.000 penonton, Persija yang konon nyali bermain kerasnya disangsikan orang (paling tidak oleh lawan mereka), sore itu menghidangkan siasat semacam “Ali kontra Foreman”.
Satu siasat yang di luar perhitungan lawannya. Dimotori Iswadi rmereka tampil dengan permainan tabah. Suaeb Rizal dan Salmon Nasution dipercaya untuk melayani kekerasan lawan. Trio lswadi Andi Lala – Sumirta melibatkan Yuswardi dan Anwar Ujang dalam mara bahaya berkepanjangan, begitu Sudarso meniup peluitnya. Lini penghubung yang diperkuat oleh Junaedi Abdillah bekas pemain Persebaya juga tambah efektif membantu penyerangan. Namun sekalipun di bawah form terbaiknya Imrisan depan Persija tanpa Risdianto cukup membuat repot Pariman. Veteran-veteran PSMS Sarman, Tumsila dan Wibisono juga tak kalah gertak. Mereka menekan Ronny Pasla yang sore itu patut dicatat ketrampilannya. Cuma pemain nasional Nobon tidak tampak permainannya, kecuali hasrat besarnya untuk menghadang lawan dengan cara kasar. Jakarta akhirnya menang 2-0.
Di hari kedua dan untuk seterusnya, minat penggemar sepakbola ternyata digiring ke arah lain. Bukan Jakarta dan Medan lagi yang disorot, sebuah team lain tampak menonjol: PSM Ujung Pandang, si Kuda Hitam. “Modal kami hanya semangat tinggi dengan tujuh pemain dari team Suratin”, ujar Ilyas Haddade coach PSM Ujung Pandang, “bisa menang sekali saja kami sudah bangga”. Namun bukan sekali. Persebaya dan Persija ditundukkan masing-masing 2-1 .
Kemenangan atas Persebaya sekaligus menurunkan gambaran keampuhan regu Jawa Timur yang mulanya ditonjolkan akan merebut piala kali ini. Inilah mula surprise turnamen. Dipimpin oleh kapten Ronny Pattinasarani yang tenang dan taktis PSM betul-betul boleh membanggakan hasil peremajaan mereka. Barisan belakang yang dijaga kwartet Nur Amir, Mallawing dan dua old track Hafid dan Akhmad Jauhari. Ini tembok beton bagi penyerang Persebaya dan Persija. Sebaliknya penyerang kawakan seperti Jacob, Waskito dan Kadir bagaikan kebesaran terompah kandas di muka kiper Saleh Bahang. “Kecil-kecil kelihatannya, tapi eh bola saya hilang terus”, ujar Jacob berkelakar mengomentari pemin-pemain muda PSM keesokan harinya.
Tampaknya kepindahan Junaedi cukup berarti buat kesebelasan yang punya prinsip “terlalu riskan menggabungkan pemain muda dengan senioren”, seperti kata Joko Sutopo sebelumnya. Makan Kaki Lawan Ketika Persija pun dikalahkan mereka, lengkaplah sudah harapan orang akan melihat wajah satu kebelasan baru menggantikan mereka yang selama ini merajai setiap turnamen PSSI. Hanya dengan modal fanatik mereka tampak siap mempertaruhkan segalanya demi pertarungan sore itu. Dimotori kembali oleh Ronny, PSM benar-benar telah menyulitkan anak-anak Aliandoe. Ketiga pemain depan Sumirta – Andi Lala. Iswadi tak banyak bisa bergerak. Kembali terasa ketakhadiran Risdianto, sekalipun Iswadi tidak jarang kembali di posnya yang asli. “Cuma Ris yang bisa turun naik, jadi tinggal Andi Lala yang harus kita jaga”, begitu petunjuk Ronny pada rekan-rekannya.
Kepada Iswadi yang dianggap bisa membuka daerah buat Lala, disodorkan Akhmad Jauhari yang telah melakukan tugasnya dengan baik. “Semua bola dari Junaedi, jadi dia juga harus diperhatikan”. Permainan meningkat keras ketika jarum jam menunjuk saat-saat pertandingan makin larut. Bahkan Ronny yang dikenal paling tidak suka main keras tampak ikut ambil-bagian dalam lakon “makan kaki lawan”. Bahkan ia mendapat kartu kuning. “Memang saya terpaksa untuk kasih semangat pada kawan-kawan”, komentarnya sesudah pertandingan. Taktik yang keliru ini memang membuahkan hasil bagi Persija ketika PSM mendapat hukuman penalti. Gol balasan untuk Persija 2-1. Sesudah dibungai dengan kericuhan dan Abdi Tunggal dikeluarkan wasit, barisan penyerang berseragam merah-merah ini hampir sepenuhnya terpancing untuk bermain keras. Begitulah sampai bubaran.
Malam harinya suasana Wisma Hasta diliputi kegembiraan. “Mereka rasakan taktik yang pernah mereka lakukan pada kami dalam kejuaraan PSSI yang lalu”, komentar Kadir atas siasat membuang-buang bola di saat sudah menang yang dilakukan PSM pada lawannya. Jamiat dan Witarsa tampak berseloroh dengan mereka. Yang jelas spekulasi jadi kacau. Harapan PSM makin besar, tetapi Persijapun masih punya kans asal Medan mampu memukul PSM keesokan harinya. Sepucuk surat “selamat bertanding” dari Ronny Pasla eks PSMS kepada Sarman dkk disobek-sobek. Dan nyatanya PSMS memang cuma mampu menahan PSM dengan draw. Sekalipun disangsikan orang keseriusan mereka. PSM toh sudah menjadi juara.
Sumber : Tempo 23 November 1974
Artikel Tempo 04 Januari 1975 : Dollar Buat Persija
DEBUT Persija dalam turnamen bayaran di Hongkong tidak mengecewakan. Dalam pertandingan 4-besar di hari Natal 1974 anak-anak Jakarta berhasil mengantongi 7 ribu dollar (AS) dan gelar runner-up.
Memukul kesebelasan tuan-rumah Seiko 1-0 di hari pertama, Persija dipaksa tunduk di final oleh kesebelasan Korea Selatan 1-3, yang sebelumnya menundukkan South China 3-0. Final antara Korea dan Indonesia itu digambarkan South, China Morning Post sebagai pertandingan yang enak ditonton. Kedua kesebelasan memperlihatkan ciri-cirinya. Fihak Korea berhasil merenggut juara, tapi fihak Indonesia dengan permainan yang cepat dan cerdik, menawan – hati 8.482 penonton Stadion Hongkong.
Sayang sekali, kata koran itu selanjutnya, dalam pertandingan secantik ttu terpaksa diakhiri dengan fihak yang kalah. Kerja Mesin Persija bermain dengan terbuka dan mendemonstrasikan ketrampilan dan keahliannya mengolah bola. Sementara Korea Selatan yang teknis sedikit di bawah lawannya mengimbangi dengan sistim pertahanan ketat dan semangat-juang yang tak pernah kendor sepanfang 90 menit. Kerjasama Indonesia di lapangan tengah amat menyenangkan publik Hongkong. Pertukaran tempat dan kombinasi membuka serangan selicin kerja mesin. Tapi begitu barisan depan yang dipimpin Junaedi Abdillah dengan ujung tombak Iswadi mendekati daerah gawang, mereka dihadang oleh barisan pertahanan Korea yang bermain mati-matian. Gol pertama Korea terjadi lewat tendangan bebas tak langsung, akibat pelanggaran poroshalang. Oyong Liza dua menit setelah wasit Jim Thorpe membuka pertandingan.
Tapi setelah permainan berlangsung 15-menit jalan pertandingan praktis dikuasai pemain-pemain Jakarta. Dua kali Anjasasmara dan Iswadi di babak kedua masing-masing nyaris membobolkan gawang lawan, sementara serangan lawan dua kali berhasil memaksa Raka memungut bola dari dalam jala. Pada menit-menit terakhir Sofyan Hadi sempat membuat goal balasan. Buat penggemar sepakbola Hongkong, turnamen hari Natal itu merupakan hiburan tahun baru yang bermutu. Kalau ada fihak yang kalah – kata penonton Hongkong – maka fihak tuan rumahlah yang menderita. Bukan saja mereka (Seiko dan South China) tersisihkan, tapi mereka nampaknya harus menombok untuk menutup biaya turnamen.
Artikel Tempo 11 Januari 1975 : BIARLAH PERSIJA SAJA ( PERSIJA VS OFFENBACH )
BERGANTI tahun bersama Kickers Offenbach, PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah III, Wilayah I dan Persija untuk melayani sang tamu.
Offenbach yang pernah mencukur Kesebelasan Nasional 5-1 yang melawat ke Jerman Barat tahun lalu, mengalahkan Wilayah III dan Wilayah I masing-masing 4-2 dan 5-0. Dua pertandingan di buntut tahun 1974 itu pas betul terjadinya. Seolah peristiwa itu ingin mengingatkan betapa terbengkalai pembinaan sepakbola di daerah. Tapi bersama terbenamnya pesimisme di tahun yang lalu, harapan cukup cerah muncul bersama prestasi Kesebelasan Persija di tahun baru. Dalam dua pertandingan awal tahun 1975, dua kekalahan Persija 2-3 dan 2-1 malahan mengembangkan optimisme baru bagi penggemar sepakbola. Kesebelasan Wilayah III yang berintikan Persebaya, agaknya menitipkan pesan bahwa beberapa pemain seperti Abdulkadir dan Waskito masih berguna untuk memberi perlawanan terhadap team yang mutunya setingkat lebih tinggi.
Sementara itu Kesebelasan Wilayah I yang berintikan PSMS Medan menyingkap kesuraman sepakbola di Sumatera Utara yang beberapa tahun lalu pernah memegang kemudi sepakbola nasional. Kesempatan Bekerja Usaha PSSI menampilkan Kesebelasan Wilayah sebagai ganti team nasional cukup simpatik. Terutama dengan alasan untuk mernberikan kesempatan kepada daerah ikut berkembang. Namun penyusunan kesebelasan yang cenderung berdasarkan penjatahan pemain, nampaknya hanya melahirkan kesebelasan yang timpang, kalau tidak mau dikatakan percobaan yang sia-sia. Apa yang diharapkan Kesebelasan Wilayah, tanpa persiapan yang matang, ingin memberi perlawanan bermutu terhadap kesebelasan calon juara dari negeri pemegang mahkota Kejuaraan Dunia? Satu-satunya perlindungan bagi pengurus PSSI yang baru dalam hal ini adalah kenyataan bahwa mereka belum diberikan kesempatan bekerja.
Sementara kontrak mendatangkan Offenbach telah dibikin pengurus yang lama. Akan, halnya kesebelasan Persija, ia telah melupakan orang sebentar dengan kesebelasan nasional. Juara PSSI ini yang biasanya bergaya salon berhasil memberi perlawanan menurut mutu yang disuguhkan lawan. Dalam pertandingan pertama (3 Januari), stempel baru pantas diberikan kepada team Ibukota ini. Sutan Harhara-Oyong Liza-Suaib Rizal-Iim Ibrahim di lini belakang, ternyata dapat membangun pertahanan konstruktif. Mereka mematahkan serangan lawan tidak dengan resep lama: membuang bola jauh jauh, mentackle lawan dengan kekerasan melulu. Tapi mereka imbangi dengan kombinasi yang efektif. Permainan keras dibarengi kontrol yang matang. Ketrampilan mereka mempermainkan bola tidak mati oleh kesibukan dan kegairahan yang timbul dari situasi di muka gawang Ronny Pasla.
Maka betapa enaknya ditonton bila terjadi komunikasi antara barisan pertahanan dengan lini tengah yang di percayakan pada Junaedi Abdillah, Anjasmara dan Sofyan Hadi. Persija dengan kata lain berhasil mempraktekkan bahwa lini pertahanan sebagai basis pertama didalam melakukan penyerangan. Ditambah pula dengan kegiatan lapis melapis oleh lim dan Sutan dari kedua sayap, membikin repot pertahanan lawan. Satu hal yang amat menonjol dalam membantu serangan oleh kedua back Persija. ini, ialah mereka tidak sembarang mengangkat bola ke muka gawang lawan. Mereka kini pandai membuat kombinasi pendek-rendah, sehingga memudahkan Andi Lala, Iswadi dan Sumirta di barisan depan membuat improvisasi.
Kacamata Kuda Kalau Junaedi berhasil bertindak sebagai pengatur serangan, Iswadi tak kurang lihaynya turun naik ikut melepaskan kawan-kawannya dari kepungan lawan. Sofyan Hadi dan Anjas yang biasanya mengalami kesulitan dalam benturan badan, pada kedua pertandingan tersebut tidak mengalami kesulitan berarti. Dalam tempo pertandingan yang cukup tinggi, mereka tahu kapan harus mengolah bola dan kapan melepasnya. Dan pujian patut diberikan kepada Andi Lala. Ia makin matang. “Kacamata kuda”nya kini telah ditanggalkan. Ia tidak asal menerjang bagaikan anjing pacuan lepas dari kandang. Bahkan Lala pandai memanfaatkan tangannya untuk menyontek bola dan menggenjotnya untuk melahirkan gol. Satu-satu ketimpangan yang dirasakan agaknya terjadi pada diri Sumirta. Dalam situasi yang menuntut ketenangan ia justru menampakkan kegugupan. Pantas sekali ia diganti Taufik Saleh. Titik lemah lainnya berkisar pada dan Ronny Pasla, meskipun gol kedua (pertandingan pertama) kesalahan harus dibagi rata bersama Sutan Harhara. Back kanan Persija ini entah apa sebabnya menunggu bola, membiarkan lawan, menerjang ke arah gawang.Mobilisasi Umum Harapan orang melihat Persija mengulangi permainan pendek, kombinasi cepat dan diselingi umpan-umpan tajam, tidak begitu berhasil dalam pertandingan kedua (5 Januari).
Offenbach tak segan memanfaatkan kelebihan fisik dan tekniknya. Di tengah gerimisnya hujan, mereka meningkatkan tempo permainan. Kedua sayap mereka diaktifkan dan kombinasi serangan lebih banyak dibangun dari kedua sayap, terutama sayap kanan. Penggantian Ronny oleh Raka sedikit terlambat, namun memberi kemantapan pada barisan pertahanan. Mungkin gol balasan Persija yang paling indah terjadi sewaktu Junaedi menggiring bola seorang diri ke muka gawang lawan. Tapi ketika mendadak ia dihadang back lawan dan bola nampaknya tidak sepenuhnya dikuasai, ia tidak mati akal. Ia membiarkan bola lepas dari kontrolnya tanpa mengendorkan larinya. Tapi begitu kontak fisik akan terjadi dengan back lawan, ia menjatuhkan diri. Seolah-olah ia diperlakukan curang oleh lawan. Wasit Kosasih meniup peluit – tanda hukuman penalti buat keuntungan Persija.
Konon pimpinan Offenbach menawarkan Kepada Junaedi untuk bergabung dengan klubnya. Junaedi dinilai memiliki taraf permainan prof di Eropa, terutama kecerdasan otaknya dalam mengatasi situasi meskipun ia pernah menyia-nyiakan dua kali peluang emas. Komentar orang sehabis kedua pertandingan Persija PSSI tak usah terburu-buru mengadakan mobilisasi umum untuk membentuk team lewat Pusat Pendidikan dan Latihan di Salatiga. Membina team menuntut kesabaran, makan waktu dan kejelian mata melihat bakat. Sementara ini cukuplah dengan Persija dulu.
Sumber: Tempo 11 Januari 1975
=======================================
Sumber semua artikel-artikel di atas: Gerry JakOnline
Dan, Batavia Pun Berpesta di Tahun 1938
Saya akhirnya menemukan fakta menarik, dimana dalam beberapa sumber menyebutkan kompetisi PSSI pada tahun 1938 jatuh ke tangan Solo (Persis) tetapi dalam susunan Wikipedia juara ada tahun itu direbut oleh VIJ (Persija). Jelas kesimpangsiuran ini menimbulkan kebingungan, dan saya sedikit bertanya-tanya ada apa ditahun 1938.
Fakta menarik tersebut saya dapatkan dari koran yang bisa dibilang sudah sangat tua dan rapuh, sehingga untuk membalikan halamannya saja agak sedikit hati-hati kalo tidak mau robek secara ber-class, ya Koran itu bernama Sin Po, Koran tua dengan pasar pembaca tionghoa termasuk Koran yang sangat berpengaruh di Ibukota dan Surabaya (di Surabaya hadir dengan nama Sin Tit Po). Awalnya saya mengira Koran ini pro terhadap Belanda, terbukti dengan berita yang selalu berat ke VBO (Voetballbond Batvia Omstraken). Dimana kompetisi VBO selalu menjadi berita di rubrik sport, tetapi diam-diam saya menemukan berita tentang VIJ, yah walaupun kecil , itu sudah membuat saya senang.
Selain VIJ, adapula berita tentang timnas kita yang menjadi Negara asia pertama yang berlagai di Piala Dunia 1938 lengkap beserta foto. Hindia Belanda saat itu diwakili oleh orang-orang yang bernaung di bawah bendera NIVU. Ini yang membuat PSSI semakin membenci NIVU lantaran NIVU menipu PSSI. Ya tentang pengiriman tim ke piala dunia memang seharusnya ditentukan dengan pertandingan antara PSSI melawan NIVU yang pemenangnya berhak mewakili Hindia Belanda ke Piala Dunia, NIVU nampkanya mencium gelagat pembangkangan dari PSSI, takutnya di Piala Dunia nanti, PSSI mengibarkan panji semangat nasionalisme dalam diri Indonesia bukan Hindia Belanda yang menjadi Negara satelit dan jajahan kerajaan Belanda.
Oke balik lagi yuk ke VIJ sebagai cikal bakal Persija nantinya. Yap, sumber yang saya temukan sangat fix, bila dulu saya mendapat sumber dari tangan kedua, maka hari ini saya mendapatkan sumber dengan mata kepala saya sendiri. Awalnya saya hampir menduga bahwa memang benar bukan VIJ juaranya, dimana semifinal VIJ sudah bertemu Surabaya (Persibaja) terlebih dahulu. Ini sangat tidak sesuai dengan sumber yang banyak menyebutkan VIJ juara setelah mengalahkan SIVB dengaan skor 3-1 di final, nah itu memang terjadi tetapi bukan di kompetisi PSSI tahun 1938, itu terjadi di kompetisi NIVU, VBO berhasil mengalahkan SIVB dengan skor 3-1. Dari situ saya mencoba terus mencari artikel di Koran itu tentang final Kampeonturnoi PSSI dan hasilnya..eng..ing..eng.. yaaa VIJ berhasil mengalahkan Solo (Persis) dengan skor 3-1.
Artikel yang saya liat sendiri adalah fix dan berhasil mematahkan kegalauan saya tentang kompetisi tahun 1938 ini, bila kemarin-kemarin saya sempat berfikir Persija hanya juara 8 kali kompetisi PSSI maka sekarang saya sudah nyaman dengan 9 kali juara kompetisi tertinggi di Indonesia ini, plus satu kali juara Liga Indonesia tentunya, He..he..
Itu memang masa lalu, masa lalu yang membuat saya tertarik. Faktor Persija yang membuat saya ingin mengenal tim ini secara lebih dekat. Bila para hooligan, ultras bahkan para fans biasa saja bisa mengenal sejarah klub mereka, saya juga ingin mengenal sejarah panjang sebuah perkumpulan yang bahkan lebih besar dari sekedar klub, Tim Persija.
Besar karena Persija mengayomi beberapa klub yang ada di Jakarta, besar pula karena banyak pemain hebat dan gelar-gelar fantastis yang lahir dari tim ini. Apakah kita mengenal semua-semua dari mereka? I don’t think so..
Bila banyak dari orang lain yang memandang sinis dengan sejarah ataupun masa lalu, wajar saja. Karena kelemahan bangsa ini adalah penghilangan sejarah untuk membuat sejarah baru yang mungkin beberapa tahun kedepan akan hilang dan digantikan sejarah baru. 1938 adalah bukti, hilangnya sejarah atau kesimpangsiuran sejarah membuat saya sebagai pecinta Persija merasakan kegalauan yang luar biasa. Beruntung masih ada arsip tersimpan rapi di lantai 7 di gedung perpustakaan yang sangat sepi pengunjung, dari lantai ini saya merasa kembali terbang ke tahun-tahun itu, ikut merasakan sukses VIJ (Persija) yang mungkin orang-orang pada tahun itu tidak memikirkan begitu susahnya menemukan kembai arsip, dokumantasi dan data jerih payah mereka dalam menghadirkan gelar ke tanah Ibukota.
V.I.J (PERSIJA) 3-1 Solo (Persis), di Sriwedari Solo
Gol VIJ : Soetjipto, Iskandar, Soetarno
Susunan Pemain V.I.J tahun 1938 :
Roeljaman; Moh. Saridi, A. Gani; Djaimin, Moestari, Soemarno; Soetarno, Soetjipto, Soetedjo; Iskandar, Oentoeng.
*sumber : Koran Sin Po 10 Juni 1938, -Gerry JakOnline-
Merah, Warna Asli Persija
Banyak yang mengira orange adalah warna kebanggaan Persija. Tetapi jauh sebelum warna orange menjadi bagian Persija, warna merah-lah yang mengiringi perjalanan hidup Persija. Ya, generasi pendukung Persija sekarang mungkin hanya mengetahui satu warna yaitu orange, bila kita lihat jika Persija bertanding, anak muda Jakarta berbondong-bondong pergi ke Stadion Utama Gelora Bung Karno dengan memakai seragam berwarna orange.
Memang, hal ini terjadi karena Persija pada tahun 1997 mengubah identitasnya dari merah-sebagai warna tradisional menjadi orange. Tidak ada yang tahu pasti kenapa Persija merubah warna kebesarannya yang telah berpuluh-puluh tahun dipakai oleh para pendahulu mereka. Banyak yang bilang bahwa orange adalah warna kesukaan Bang Yos, tetapi ada pula yang bilang orange adalah warna pemda.
Tetapi, ya itu tadi, jauh sebelum orange, Persija bangga dengan warna merahnya. Warna yang memang sudah melekat sejak Persija masih bernama Voetballbond Indonesische Jacatra ( VIJ ) adalah pemberian dari para pendiri perkumpulan ini. Merah disebut-sebut sebagai representasi Indonesia, karena sejak dulu Batavia memang dipenuhi oleh bermacam-macam suku bangsa.
VIJ sendiri adalah perkumpulan sepakbola yang memang didirikan oleh para pemuda pribumi, untuk menyaingi perkumpulan sepakbola Batavia yang didirikan oleh Belanda, Voetballbond Batavia Omstraken ( VBO ). VIJ adalah cerminan perkumpulan Indonesia, pemain-pemainya bukan hanya terdiri dari orang-orang Betawi tetapi juga juga suku lain. Pemuda Betawi semacam A. Gani, Saridi bermain satu tim dengan Roeljaman, Soetjipto, Soetarno yang orang Jawa pun begitu pula dengan orang Sunda seperti Iskandar yang juga menjadi andalan pembobol gawang lawan.
VIJ bermarkas di Lapangan Petojo. Lapangan ini adalah sumbangan dari pemuda-pemuda Betawi untuk VIJ, tokoh Betawi M. Husni Thamrin punya andil besar dalam perkembangan VIJ terutama atas adanya Lapangan Petojo ini. Dari lapangan ini pula VIJ atau Persija berlatih sehingga mereka mampu menjuarai kompetisi tahun 1931, 1933, 1934 dan 1938.
Setelah era kemerdekaan , VIJ merubah namanya menjadi Persija pada tahun 1950. Persija kembali menunjukan taringnya sebagai perkumpulan Jakarta di dunia sepakbola Indonesia kala itu. Persija mampu membuat VBO meleburkan diri ke dalam Persija, otomatis klub-klub yang bernaung di bawah VBO bergabung dan berkompetisi di Persija. Sebutan Persija adalah Indonesia kala itu sangat kuat, dengan banyak pemain Persija yang memperkuat Indonesia. Nama-nama seperti Van Der Vin, Kris Ong, Tan Liong Houw ( Tanoto ), Kiat Kwee Sek, R. Pangemanan, Hong Sing, atau Djamiat Dalhar adalah pemain-pemain andalan Indonesia. Begitu pula di era 60an, andalan Indonesia seperti Sucipto Suntoro, Sinyo Aliandoe, Fam Tek Fong, Yudi Hadiyanto, Dominggus, Supardi, Reni Salaki, Surya Lesmana dan Didik Kasmara adalah pemain Persija bahkan pelatih legendaris Indonesia drg. Endang Witarsa juga berasal dari Persija.
Era 70an adalah eranya Persija, dimana sebelas pemain timnas adalah pemain Persija. Suaib Rizal dan Anjas Asmara pernah berbincang kepada saya bahwa saat itu Persija adala Timnas Indonesia dan Timnas Indonesia adalah Persija. Ya, warna Merah dan Putih adalah warna Persija dan Indonesia. Ini yang jarang diketahui oleh generasi Persija “hari ini”.
Warna adalah identitas, dan Persija dari awal sudah memilih merah sebagai identitasnya, warna yang penuh arti yang diberikan oleh para pendahulu. Kita tahu bahwa salah satu sifat manusia adalah membuat sejarahnya sendiri, maka jangan heran identitas kita bahkan bisa dibeli dengan uang hanya sekedar untuk pencitraan diri. Keegoisan para pemimpin atau pemilik modal memang telah mengubur sejarah lama, tetapi bila identitas Persija merah tuahnya sangat kuat, akan ada orang-orang yang berusaha untuk membalikan identitas awal Persija.
Magis, ya saya sempat mendengar bahwa Persija kualat tidak pernah juara karena mengganti identitas dari merah menjadi orange dan juga kesalahan fatal pemimpin kota ini dengan merubuhkan Stadion Menteng yang bertahun-tahun menjadi “rumah” Persija. Jika memang terbukti benar, ada baiknya Persija era sekarang berkaca pada masa lalu nya, saat ini yang tertinggal dari Persija hanya lambang didada para pemain Persija. Hanya itu yang tersisa.
Merah bukan sekedar warna buat Persija, tapi merah memiliki daya magis dan penuh arti bagi perjalanan panjang Persija. Sudah saatnya memberi kebenaran kepada generasi sekarang tentang pentingnya sejarah. Sejarah yang membawa kita pada hari ini dan sejarah pula yang membuat kita bisa melangkah ke masa depan, dan merah akan selalu menjadi warna dan bagian Persija walau “hari ini” terkikis oleh egoisnya identitas pemilik uang dan pemimpin kota ini demi sebuah pencitraan diri.
Sumber
[Video] Final Divisi Utama Persija 2-3 Persebaya 27 Maret 1988
ForzaPersija Berikut ini merupakan video aksi Persija menghadapi Persebaya pada babak kedua final divisi utama yang dimainkan pada 27 Maret 1988. Video terdiri dari 5 bagian, sumber video bentow13. Artikel dibawah ini dikurip dari Majalah Tempo.
APA yang menjadi misi kita? Apa?" teriaknya keras-keras. "Membalikkan sejarah," jawab semua pemain dengan serentak. Minggu petang itulah hari buat Persebaya. Dialog antara Agil Haji Ali, manajer tim Persebaya, dan para pemainnya mungkin terus terngiang di telinga arek-arek Suroboyo itu.
Maka, sekitar 1.000 km dari kandang sendiri, di Stadion Senayan Jakarta, ditonton sekitar 80.000 penonton yang memadati stadion Senayan ditambah jutaan yang nongkrong di depan pesawat televisi, sore itu lahir juara kompetisi divisi utama perserikatan PSSI 1987-1988.
Ini bukan kompetisi biasa, inilah pertandingan tahunan lambang supremasi sepak bola amatir Indonesia. Dan pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta memang menegangkan. Persebayalah yang mula-mula mencetak gol. Kemudian Persija menyamakan skor hingga pertandingan berjalan 2 x 45 menit skor 1-1 tak berubah. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit ternyata menguntungkan Persebaya.
Meski skor tipis, 3-2, resmilah pada sekitar pukul 7 malam Persebaya menjadi sang juara. Hampir sepanjang pertandingan, lengkingan trompet dan irama genderang ditabuh bertalu-talu oleh pasukan hijau pendukung fanatik Persebaya. Sebagian penonton asyik berjoget dan bernyanyi.
Dan begitu wasit Zulham Yahya dari Medan meniupkan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, serentak semua pemain dan ofisial Persebaya menjerit kegirangan. Suporter fanatik Surabaya yang mengisi setengah stadion melompati pagar, masuk ke lapangan. Misbach dan Kusmanhadi, dua-duanya pelatih Persebaya, segera melakukan sujud syukur di tepi lapangan. Dan lihatlah, Ketua Umum Persebaya, yang adalah Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi, diangkat lalu diarak oleh para suporter.
Kemenangan yang baru pecah, yang baru hangat-hangatnya, memang memancing emosi secara langsung. Dan emosi itulah yang berlanjut di Hotel Hasta, Jakarta Selatan, tempat mereka menginap. Semua tim - pemain dan ofisial berkumpul di sebuah ruangan yang terletak di lantai III di hotel itu. Hadir juga di situ Ketua Komda PSSI Jawa Timur M. Said dan Ketua DPRD provinsi itu juga, Nyonya Asri Subaryadi. Manajer tim, Agil Haji Ali, membuka pertemuan itu dengan melantunkan ayat Quran surat Wal-Ashr dengan fasih.
Agil lalu mencoba meluapkan kegembiraannya dengan berpidato. Ia mengenang semangat yang ia pompakan sewaktu Persebaya turun ke Senayan. Ya, dialog "membalikkan sejarah" malam itu ia ulangi. Ditambah ini. "Kita yang menentukan, kita yang masuk final, bukan Pak Kardono, bukan tukang suap," katanya berapi-api. "Dulu mereka yang menentukan, yang ini masuk final, yang itu masuk final. Sekarang kita balik sejarah, kita sendiri yang menentukan." Tepuk tangan pun meledak, lalu: "Hidup Persebaya. Hidup Persebaya." Kini Surabaya pantas menjadi kiblat persepakbolaan Indonesia - setidaknya untuk setahun ini. Ibu Cota Provinsi Jawa Timur itu tahun ini akan memiliki 3 kesebelasan juara nasional.
Bond Persebaya juara perserikatan 1987-1988, Klub Suryanaga juara nasional antarklub 1988, dan Niac Mitra yang hampir dipastikan bakal menjuarai kompetisi Galatama 1987-1988, Mei nanti. Kemenangan Persebaya kini - terlepas dari "cela" yang pernah mereka perbuat dalam pertandingan sebelumnya - memang pantas diakui. Di pertandingan grand final itu anak-anak Surabaya memperlihatkan kemampuan yang sesungguhnya. Bagaikan taktik perang gerilya memancing lawan meninggalkan sarang, serangan balik uJung tombak kembar Syamsul Arifin dan Mustaqim sangat efektif. Sebaliknya, Persija juga memberikan perlawanan setimpal.
Anak-anak Betawi yang memang difavoritkan menjadi juara karena para pemainnya memiliki kemampuan teknik individual yang lebih baik dibandingkan lawannya - bertarung dengan cantik dan habis-habisan. Di saat-saat terakhir hanya 4 menit sebelum pertandingan selesai, sementara skor masih 1-0 untuk Persebaya, Persija mampu menyamakan skor. Maka, pertandingan pun diperpanjang 2 x 15 menit. Dalam perpanjangan waktu Persebaya kembali unggul 3-1.
Namun, Persija tetap gigih bertarung sampai saat-saat terakhir. Hanya beberapa detik sebelum peluit berakhirnya perpanjangan waktu ditiup, Persija kembali membobolkan gawang Surabaya, menipiskan kekalahan menjadi 3-2. Apa boleh buat. Sekalipun bertanding di Jakarta, Persija tak menjadi tuan rumah di kandangnya sendiri. Adakah faktor di luar lapangan permainan punya pengaruh? Kata manajer tim Persija Todung Barita, "Fanatisme dan keinginan pemain untuk membela daerah itulah yang membuat Persebaya juara. Mereka memang bermental juara." Ia menyiratkan, tipisnya kadar fanatisme pendukung Persija membuat anak-anak Persija tak punya dorongan ekstra untuk memenangkan pertandingan, sekalipun memiliki teknik permainan yang lebih baik.
Bagaimanapun, duel Persija dan Persebaya pada Minggu petang itu termasuk salah satu pertandingan terbaik dalam sejarah sepak bola Indonesia. Penonton puas. Seolah-olah dua kesebelasan yang bertarung itu "membayar utang" kepada pecandu bola. Tiga hari sebelumnya, Kamis pekan lalu, ketika Persija berjumpa Persebaya dalam babak penyisihan 6 Besar, dua kesebelasan itu sempat memperagakan sepak bola sabun yang berakhir seri 0-0.
Mereka sama-sama tak ingin mengambil risiko kalah. Kedua kesebelasan tampil pas-pasan dan tak ada gairah mencetak gol. Memang. Peluang Persija dan Persebaya ke pertandingan puncak hanya bisa dipastikan kalau mereka bertanding dengan hasil seri. Sebab, bila salah satu kalah, terbuka peluang buat Persib Bandung. "Buat apa ngoyo, yang untung Persib," kata Agil.
Maka, pertandingan Persija vs. Persebaya berlangsung sangat membosankan. Bola hanya bergulir di sekitar lapangan tengah. Pertandingan yang juga diliput langsung oleh TVRI itu hampir saja berakhir dengan kericuhan. Penonton jengkel dan protes melihat ulah kesebelasan yang berlaga itu.
Mereka 'kan sudah membayar tiket. Dari tribun bagian atas, penonton yang tak puas melemparkan batu, bungkus minuman teh kotak, sandal, dan benda apa saja yang ada di dekatnya, ke lapangan dan tribun bagian bawah. "Bubarkan PSSI .... PSSI, kembalikan uang kami," begitu teriak salah seorang penonton. Sebelum babak pertama berakhir secara demonstratif penonton secara rombongan meninggalkan stadion. "Baru kali ini saya melihat lebih banyak penonton yang pergi ketimbang yang datang pada saat pertandingan masih berlangsung," kata Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes. Jumlah penonton, yang semula 30.000, pada babak kedua menyusut tinggal 5.000 orang. Akhirnya, Persija vs. Persebaya dalam babak penyisihan 0-0. Aki batnya, Bandung tersingkir. "Mengecewakan. Mereka telah memperagakan sepak bola ular," kata manajer tim Persib Wardaya, jengkel.
Tapi selama pertandingan kompetisi divisi utama PSSI kini, tak cuma itu satu-satunya pertandingan yang disebut-sebut sebagai "sepak bola ular". Kemenangan Persebaya atas Persipura juga dituding sebagai pertandingan "balas jasa". Orang masih ingat ketika di babak 12 Besar wilayah Timur, Persebaya di kandangnya sendiri "mengalah" 12-0 dari Persipura. Itu tak lain sebagai strategi Surabaya untuk menyingkirkan seteru lamanya, PSIS Semarang. Karena kemenangan besar Persipura atas Persebaya itu, anak-anak Jayapura terkatrol ke babak 6 Besar di Senayan.
"Kalau pertandingan sudah diatur, wah, ini tragedi nasional," kata bekas kapten PSSI Sucipto Suntoro. Ini memang bukan "sepak bola ular", tapi "sepak bola gajah". Sebelum dimulainya babak 6 Besar, Pengurus Harian PSSI sudah melayangkan surat teguran keras kepada Persebaya. Isinya, menyayangkan ulah Persebaya yang keterlaluan dan dianggap melanggar nilai-nilai sportivitas. Tapi perbuatan yang dianggap PSSI "tak sportif" terjadi kembali dalam pertandingan Persebaya melawan Persipura di Senayan. "Balas jasa" berlangsung lagi Persebaya "dihadiahi" 4-2 oleh Persipura. PSSI tampaknya memang tak bisa berbuat banyak. "Saya cuma bisa mengelus dada," kata Ketua Umum PSSI Kardono, yang kesal melihat semua itu.
Dalam ketentuan PSSI bahkan FIFA sekalipun - memang tak diatur soal sanksi terhadap permainan sepak bola sabun. Peluang itulah yang kemudian dimanfaatkan secara luas oleh kesebelasan yang ikut dalam kompetisi divisi utama perserikatan PSSI. Mengapa? "Karena kemenangan suatu klub perserikatan tak bisa dipisahkan dengan kepentingan daerah. Kemenangan bisa berarti segalanya," tutur Nugroho maklum. Jangan heran jika kesebelasan perserikatan yang tampil di 6 Besar didampingi oleh sejumlah pejabat tinggi daerah setempat. Persib Bandung, Persiba Balikpapan, dan Persebaya Surabaya, misalnya, dipimpin langsung oleh wali kotanya masing-masing.
Dan jangan gusar pula kalau untuk mencapai kemenangan segala cara akan ditempuh oleh bond-bond perserikatan yang berlaga di kompetisi. Apalagi peluangnya tersedia. Karena itu, ada yang melihat bahwa format kompetisi di babak 6 Besar ini sudah saatnya dievaluasi, guna mencegah terjadinya permainan sabun. "Sistem kompetisi memang memungkinkan untuk itu, kalau tidak diubah sistemnya," kata E.E. Mangindaan, Ketua Harian Persebaya. PSSI pun tanggap.
Dalam Sidang Pengurus Paripurna PSSI yang berlangsung pada 25-27 Maret 1988 di Hotel Orchid, Jakarta, diputuskan bahwa kompetisi divisi utama perserikatan 6 Besar PSSI untuk putaran 1990 nanti tak lagi menggunakan sistem setengah kompetisi, tapi sistem pembagian grup. Enam kesebelasan yang yang lolos ke babak final dibagi dalam dua grup. Dua teratas dari tiap grup kembali dipertandingkan dengan sistem silang. Dua pemenangnya akan bertemu di babak grand final. Keputusan lainnya, musim kompetisi divisi I dan divisi II, yang biasanya dilakukan setiap tahun sekali, kini diubah menjadi dua tahun sekali. Adakah itu telah menjamin permainan sabun bakal tersingkirkan?
"Sistem apa pun tetap tidak bisa menJamin tak adanya permainan sabun," kata Acub Zainal, Ketua Tim Penanggulangan dan Pemberantasan Masalah Suap (TPPMS). "Kalau pemain dan pengurusnya masih kurang alar, tldak punya moral, tidak punya jiwa sportivitas, ya sama saja. Permainan sepak bola sabun akan terus ada." Acub mestinya benar.
Rusaknya wajah persepakbolaan Indonesia tampaknya sudah terlalu parah. Pertandingan babak 6 Besar yang baru saja berlangsung itu malah bukan saja diwarnai permainan sabun, tetapi lebih dari itu: penyuapan. Perserikatan yang pernah digembar-gemborkan sebagai wadah pemain sepak bola murni amatir dan kebal suap, ternyata, hanya dongeng. Hampir dari semua pertandingan di babak 6 Besar itu tercium adanya perbuatan tercela tersebut.
"Laporan mengenai kemungkinan itu sudah masuk sejak Jumat kemarin," kata Acub Sabtu pekan lalu, sehari sebelum pertandingan puncak. "Sekarang TPPMS sedang bekerja mengumpulkan bahan." Akibatnya fatal buat PSSI. Pencandu sepak bola tampaknya semakin kritis dan sudah tahu soal permainan suap dan sabun. Terbukti jumlah penonton, yang biasanya bergairah memenuhi Senayan menyaksikan pertandingan 6 Besar, menyusut drastis. Pemasukan dari hasil penjualan karcis di luar pertandingan grand final cuma mencapai Rp 391 juta jauh dari perkiraan semula, Rp 450 juta.
Padahal, tahun lalu kocek PSSI masih bisa menggelembung dari penyelenggaraan 6 Besar ini dari penjualan karcis masuk terkumpul sekitar Rp 520 juta. Sorak-sorai penonton yang mengiringi kompetisi 6 Besar tahun ini memang tak segemuruh tahun-tahun sebelumnya. Tapi "perang" di luar lapangan hijau justru tahun ini berlangsung lebih seru. Rombongan bis dan mobil suporter Persebaya, yang melaju pergi dan pulang dari Jakarta lewat Semarang, harus menghadapi hujan batu. Inilah buntut permainan sabun - atau lebih dikenal dengan sepak bola gajah - yang diperagakan Persebaya ketika "mengalah" 12-0 dari Persipura, yang mengakibatkan tersisihnya PSIS Semarang.
Apa pun yang terjadi Persebaya sudah membuktikan bisa "membalikkan sejarah". Kecuali,ukuran kalah-menang dalam sepak bola bukan sekadar gol yang banyak. Ahmed K. Soeriawidjaja, Bachtiar Abdullah, Budiono Darsono, Yopie Hidayat.
02 APRIL 1988
Surabaya Membalikkan Sejarah
Maka, sekitar 1.000 km dari kandang sendiri, di Stadion Senayan Jakarta, ditonton sekitar 80.000 penonton yang memadati stadion Senayan ditambah jutaan yang nongkrong di depan pesawat televisi, sore itu lahir juara kompetisi divisi utama perserikatan PSSI 1987-1988.
Ini bukan kompetisi biasa, inilah pertandingan tahunan lambang supremasi sepak bola amatir Indonesia. Dan pertandingan antara Persebaya Surabaya dan Persija Jakarta memang menegangkan. Persebayalah yang mula-mula mencetak gol. Kemudian Persija menyamakan skor hingga pertandingan berjalan 2 x 45 menit skor 1-1 tak berubah. Perpanjangan waktu 2 x 15 menit ternyata menguntungkan Persebaya.
Meski skor tipis, 3-2, resmilah pada sekitar pukul 7 malam Persebaya menjadi sang juara. Hampir sepanjang pertandingan, lengkingan trompet dan irama genderang ditabuh bertalu-talu oleh pasukan hijau pendukung fanatik Persebaya. Sebagian penonton asyik berjoget dan bernyanyi.
Dan begitu wasit Zulham Yahya dari Medan meniupkan peluit panjang tanda berakhirnya pertandingan, serentak semua pemain dan ofisial Persebaya menjerit kegirangan. Suporter fanatik Surabaya yang mengisi setengah stadion melompati pagar, masuk ke lapangan. Misbach dan Kusmanhadi, dua-duanya pelatih Persebaya, segera melakukan sujud syukur di tepi lapangan. Dan lihatlah, Ketua Umum Persebaya, yang adalah Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi, diangkat lalu diarak oleh para suporter.
Kemenangan yang baru pecah, yang baru hangat-hangatnya, memang memancing emosi secara langsung. Dan emosi itulah yang berlanjut di Hotel Hasta, Jakarta Selatan, tempat mereka menginap. Semua tim - pemain dan ofisial berkumpul di sebuah ruangan yang terletak di lantai III di hotel itu. Hadir juga di situ Ketua Komda PSSI Jawa Timur M. Said dan Ketua DPRD provinsi itu juga, Nyonya Asri Subaryadi. Manajer tim, Agil Haji Ali, membuka pertemuan itu dengan melantunkan ayat Quran surat Wal-Ashr dengan fasih.
Agil lalu mencoba meluapkan kegembiraannya dengan berpidato. Ia mengenang semangat yang ia pompakan sewaktu Persebaya turun ke Senayan. Ya, dialog "membalikkan sejarah" malam itu ia ulangi. Ditambah ini. "Kita yang menentukan, kita yang masuk final, bukan Pak Kardono, bukan tukang suap," katanya berapi-api. "Dulu mereka yang menentukan, yang ini masuk final, yang itu masuk final. Sekarang kita balik sejarah, kita sendiri yang menentukan." Tepuk tangan pun meledak, lalu: "Hidup Persebaya. Hidup Persebaya." Kini Surabaya pantas menjadi kiblat persepakbolaan Indonesia - setidaknya untuk setahun ini. Ibu Cota Provinsi Jawa Timur itu tahun ini akan memiliki 3 kesebelasan juara nasional.
Bond Persebaya juara perserikatan 1987-1988, Klub Suryanaga juara nasional antarklub 1988, dan Niac Mitra yang hampir dipastikan bakal menjuarai kompetisi Galatama 1987-1988, Mei nanti. Kemenangan Persebaya kini - terlepas dari "cela" yang pernah mereka perbuat dalam pertandingan sebelumnya - memang pantas diakui. Di pertandingan grand final itu anak-anak Surabaya memperlihatkan kemampuan yang sesungguhnya. Bagaikan taktik perang gerilya memancing lawan meninggalkan sarang, serangan balik uJung tombak kembar Syamsul Arifin dan Mustaqim sangat efektif. Sebaliknya, Persija juga memberikan perlawanan setimpal.
Anak-anak Betawi yang memang difavoritkan menjadi juara karena para pemainnya memiliki kemampuan teknik individual yang lebih baik dibandingkan lawannya - bertarung dengan cantik dan habis-habisan. Di saat-saat terakhir hanya 4 menit sebelum pertandingan selesai, sementara skor masih 1-0 untuk Persebaya, Persija mampu menyamakan skor. Maka, pertandingan pun diperpanjang 2 x 15 menit. Dalam perpanjangan waktu Persebaya kembali unggul 3-1.
Namun, Persija tetap gigih bertarung sampai saat-saat terakhir. Hanya beberapa detik sebelum peluit berakhirnya perpanjangan waktu ditiup, Persija kembali membobolkan gawang Surabaya, menipiskan kekalahan menjadi 3-2. Apa boleh buat. Sekalipun bertanding di Jakarta, Persija tak menjadi tuan rumah di kandangnya sendiri. Adakah faktor di luar lapangan permainan punya pengaruh? Kata manajer tim Persija Todung Barita, "Fanatisme dan keinginan pemain untuk membela daerah itulah yang membuat Persebaya juara. Mereka memang bermental juara." Ia menyiratkan, tipisnya kadar fanatisme pendukung Persija membuat anak-anak Persija tak punya dorongan ekstra untuk memenangkan pertandingan, sekalipun memiliki teknik permainan yang lebih baik.
Bagaimanapun, duel Persija dan Persebaya pada Minggu petang itu termasuk salah satu pertandingan terbaik dalam sejarah sepak bola Indonesia. Penonton puas. Seolah-olah dua kesebelasan yang bertarung itu "membayar utang" kepada pecandu bola. Tiga hari sebelumnya, Kamis pekan lalu, ketika Persija berjumpa Persebaya dalam babak penyisihan 6 Besar, dua kesebelasan itu sempat memperagakan sepak bola sabun yang berakhir seri 0-0.
Mereka sama-sama tak ingin mengambil risiko kalah. Kedua kesebelasan tampil pas-pasan dan tak ada gairah mencetak gol. Memang. Peluang Persija dan Persebaya ke pertandingan puncak hanya bisa dipastikan kalau mereka bertanding dengan hasil seri. Sebab, bila salah satu kalah, terbuka peluang buat Persib Bandung. "Buat apa ngoyo, yang untung Persib," kata Agil.
Maka, pertandingan Persija vs. Persebaya berlangsung sangat membosankan. Bola hanya bergulir di sekitar lapangan tengah. Pertandingan yang juga diliput langsung oleh TVRI itu hampir saja berakhir dengan kericuhan. Penonton jengkel dan protes melihat ulah kesebelasan yang berlaga itu.
Mereka 'kan sudah membayar tiket. Dari tribun bagian atas, penonton yang tak puas melemparkan batu, bungkus minuman teh kotak, sandal, dan benda apa saja yang ada di dekatnya, ke lapangan dan tribun bagian bawah. "Bubarkan PSSI .... PSSI, kembalikan uang kami," begitu teriak salah seorang penonton. Sebelum babak pertama berakhir secara demonstratif penonton secara rombongan meninggalkan stadion. "Baru kali ini saya melihat lebih banyak penonton yang pergi ketimbang yang datang pada saat pertandingan masih berlangsung," kata Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes. Jumlah penonton, yang semula 30.000, pada babak kedua menyusut tinggal 5.000 orang. Akhirnya, Persija vs. Persebaya dalam babak penyisihan 0-0. Aki batnya, Bandung tersingkir. "Mengecewakan. Mereka telah memperagakan sepak bola ular," kata manajer tim Persib Wardaya, jengkel.
Tapi selama pertandingan kompetisi divisi utama PSSI kini, tak cuma itu satu-satunya pertandingan yang disebut-sebut sebagai "sepak bola ular". Kemenangan Persebaya atas Persipura juga dituding sebagai pertandingan "balas jasa". Orang masih ingat ketika di babak 12 Besar wilayah Timur, Persebaya di kandangnya sendiri "mengalah" 12-0 dari Persipura. Itu tak lain sebagai strategi Surabaya untuk menyingkirkan seteru lamanya, PSIS Semarang. Karena kemenangan besar Persipura atas Persebaya itu, anak-anak Jayapura terkatrol ke babak 6 Besar di Senayan.
"Kalau pertandingan sudah diatur, wah, ini tragedi nasional," kata bekas kapten PSSI Sucipto Suntoro. Ini memang bukan "sepak bola ular", tapi "sepak bola gajah". Sebelum dimulainya babak 6 Besar, Pengurus Harian PSSI sudah melayangkan surat teguran keras kepada Persebaya. Isinya, menyayangkan ulah Persebaya yang keterlaluan dan dianggap melanggar nilai-nilai sportivitas. Tapi perbuatan yang dianggap PSSI "tak sportif" terjadi kembali dalam pertandingan Persebaya melawan Persipura di Senayan. "Balas jasa" berlangsung lagi Persebaya "dihadiahi" 4-2 oleh Persipura. PSSI tampaknya memang tak bisa berbuat banyak. "Saya cuma bisa mengelus dada," kata Ketua Umum PSSI Kardono, yang kesal melihat semua itu.
Dalam ketentuan PSSI bahkan FIFA sekalipun - memang tak diatur soal sanksi terhadap permainan sepak bola sabun. Peluang itulah yang kemudian dimanfaatkan secara luas oleh kesebelasan yang ikut dalam kompetisi divisi utama perserikatan PSSI. Mengapa? "Karena kemenangan suatu klub perserikatan tak bisa dipisahkan dengan kepentingan daerah. Kemenangan bisa berarti segalanya," tutur Nugroho maklum. Jangan heran jika kesebelasan perserikatan yang tampil di 6 Besar didampingi oleh sejumlah pejabat tinggi daerah setempat. Persib Bandung, Persiba Balikpapan, dan Persebaya Surabaya, misalnya, dipimpin langsung oleh wali kotanya masing-masing.
Dan jangan gusar pula kalau untuk mencapai kemenangan segala cara akan ditempuh oleh bond-bond perserikatan yang berlaga di kompetisi. Apalagi peluangnya tersedia. Karena itu, ada yang melihat bahwa format kompetisi di babak 6 Besar ini sudah saatnya dievaluasi, guna mencegah terjadinya permainan sabun. "Sistem kompetisi memang memungkinkan untuk itu, kalau tidak diubah sistemnya," kata E.E. Mangindaan, Ketua Harian Persebaya. PSSI pun tanggap.
Dalam Sidang Pengurus Paripurna PSSI yang berlangsung pada 25-27 Maret 1988 di Hotel Orchid, Jakarta, diputuskan bahwa kompetisi divisi utama perserikatan 6 Besar PSSI untuk putaran 1990 nanti tak lagi menggunakan sistem setengah kompetisi, tapi sistem pembagian grup. Enam kesebelasan yang yang lolos ke babak final dibagi dalam dua grup. Dua teratas dari tiap grup kembali dipertandingkan dengan sistem silang. Dua pemenangnya akan bertemu di babak grand final. Keputusan lainnya, musim kompetisi divisi I dan divisi II, yang biasanya dilakukan setiap tahun sekali, kini diubah menjadi dua tahun sekali. Adakah itu telah menjamin permainan sabun bakal tersingkirkan?
"Sistem apa pun tetap tidak bisa menJamin tak adanya permainan sabun," kata Acub Zainal, Ketua Tim Penanggulangan dan Pemberantasan Masalah Suap (TPPMS). "Kalau pemain dan pengurusnya masih kurang alar, tldak punya moral, tidak punya jiwa sportivitas, ya sama saja. Permainan sepak bola sabun akan terus ada." Acub mestinya benar.
Rusaknya wajah persepakbolaan Indonesia tampaknya sudah terlalu parah. Pertandingan babak 6 Besar yang baru saja berlangsung itu malah bukan saja diwarnai permainan sabun, tetapi lebih dari itu: penyuapan. Perserikatan yang pernah digembar-gemborkan sebagai wadah pemain sepak bola murni amatir dan kebal suap, ternyata, hanya dongeng. Hampir dari semua pertandingan di babak 6 Besar itu tercium adanya perbuatan tercela tersebut.
"Laporan mengenai kemungkinan itu sudah masuk sejak Jumat kemarin," kata Acub Sabtu pekan lalu, sehari sebelum pertandingan puncak. "Sekarang TPPMS sedang bekerja mengumpulkan bahan." Akibatnya fatal buat PSSI. Pencandu sepak bola tampaknya semakin kritis dan sudah tahu soal permainan suap dan sabun. Terbukti jumlah penonton, yang biasanya bergairah memenuhi Senayan menyaksikan pertandingan 6 Besar, menyusut drastis. Pemasukan dari hasil penjualan karcis di luar pertandingan grand final cuma mencapai Rp 391 juta jauh dari perkiraan semula, Rp 450 juta.
Padahal, tahun lalu kocek PSSI masih bisa menggelembung dari penyelenggaraan 6 Besar ini dari penjualan karcis masuk terkumpul sekitar Rp 520 juta. Sorak-sorai penonton yang mengiringi kompetisi 6 Besar tahun ini memang tak segemuruh tahun-tahun sebelumnya. Tapi "perang" di luar lapangan hijau justru tahun ini berlangsung lebih seru. Rombongan bis dan mobil suporter Persebaya, yang melaju pergi dan pulang dari Jakarta lewat Semarang, harus menghadapi hujan batu. Inilah buntut permainan sabun - atau lebih dikenal dengan sepak bola gajah - yang diperagakan Persebaya ketika "mengalah" 12-0 dari Persipura, yang mengakibatkan tersisihnya PSIS Semarang.
Apa pun yang terjadi Persebaya sudah membuktikan bisa "membalikkan sejarah". Kecuali,ukuran kalah-menang dalam sepak bola bukan sekadar gol yang banyak. Ahmed K. Soeriawidjaja, Bachtiar Abdullah, Budiono Darsono, Yopie Hidayat.
Artikel Terkait :
0 komentar:
Posting Komentar